Kamis, 18 Februari 2010

SEKOLAH UNTUK ANAK AUTISTIK

SEKOLAH UNTUK ANAK AUTISTIK
Oleh
Augustina K. Priyanto, S.Psi.
Konsultan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus dan Orang Tua Anak Autistik

Berbagai pendapat berkembang mengenai ide sekolah reguler bagi anak autistik.
Banyak pihak yang kurang setuju dengan pemberian layanan pendidikan di sekolah
reguler bagi anak autistik karena keberbedaan mereka yang mengalami gangguan dalam
masalah interaksi sosial. Namun tidak sedikit pula yang setuju perlunya layanan
pendidikan sekolah reguler bagi anak autistik. Luasnya spektrum gangguan yang dialami
oleh anak autistik membuat berkembangnya kedua pendapat ini menjadi tidak dapat
disalahkan. Keduanya sama-sama benar dan sesuai dengan keadaan anak autistik yang
memiliki gangguan yang spesifik dan unik pada tiap anak. Bagaimana orang tua dapat
memilih pendapat yang sesuai dengan keberadaan anak autistik yang diasuhnya? Marilah
kita telaah beberapa hal yang akan disampaikan dalam paparan berikut ini.
1. Definisi anak autistik dan spektrumnya.
Secara ringkas kriteria anak autistik menurut DSM-IV-TR (2000), yaitu:
a. Gangguan kualitatif dalam melakukan interaksi sosial timbal balik,
1). Gangguan nyata dalam berbagai perilaku nonverbal seperti kontak mata,
ekspresi wajah, postur tubuh, dan gerak tubuh dalam berinteraksi sosial;
2). Gagal mengembangkan hubungan dengan teman sebaya;
3). Kurangnya spontanitas dalam berbagi kesenangan, minat, atau prestasi dengan
orang lain;
4). Kurang mampu melakukan hubungan sosial atau emosi timbal balik.
b. Gangguan kualitatif dalam komunikasi:
1). Terlambat atau tidak bicara sama sekali (tidak ada usaha melakukan cara-cara
komunikasi alternatif seperti gerak tubuh atau mimik);
2). Pada individu yang mampu berbicara, terdapat gangguan untuk memulai atau
mempertahankan percakapan dengan orang lain;
3). Penggunaan bahasa yang stereotip dan diulang-ulang atau sulit dimengerti
oleh orang lain;
Sekolah untuk Anak Autistik

4). Gagal dalam melakukan permainan „pura-pura‟ atau permainan meniru orang
lain sesuai dengan tahap perkembangannya.
c. Pola-pola perilaku, minat, dan aktivitas yang kaku secara repetitif dan stereotip:
1). Preokupasi pada satu atau lebih pola tertentu yang diminati secara berlebihan;
2). Tidak fleksibel pada rutinitas atau ritual yang spesifik dan nonfungsional;
3). Kebiasaan motorik yang stereotip dan repetitif (misalnya: mengepak-kepakan
tangan, memutar-mutar jari, atau gerakan seluruh tubuh yang kompleks);
4). Preokupasi yang menetap pada bagian-bagian atau objek tertentu.
2. Kelainan lain yang menyertai.
Selain keberbedaan yang ditunjukkan dalam DSM-IV-TR di atas, beberapa anak
autistik memiliki gangguan lainnya yang menjadi pemberat dalam kasus autistik yang
dialami anak, seperti misalnya: hipersensitifitas terhadap suara, sentuhan, atau
kelainan okupasi yang umum dialami oleh anak autistik. Ketahanan tubuh terhadap
penyakit juga salah satu masalah yang biasanya membebani anak autistik, yang akan
berdampak pada absensi anak autistik saat ia bersekolah.
3. Penanganan dini.
Setelah anak dinyatakan positif sebagai anak autistik, penanganan dini perlu
segera dilakukan. Hal ini penting dalam menunjang kesiapan anak masuk dunia
pendidikan di kemudian hari. Banyak pilihan penanganan dini baik secara medis
maupun alternatif yang dapat dilakukan untuk membantu meminimalisir gangguan
yang dialami oleh anak autistik, juga dapat memaksimalkan potensi yang dimilikinya.
Penanganan dini yang dilakukan segera setelah anak dinyatakan autistik terbukti
sangat membantu anak untuk lebih siap baik secara fisik maupun psikologis untuk
belajar di sekolah. Beragam terapi individual dapat diberikan secara dini pada anak
autistik. Beberapa macam terapi individual yang dapat diberikan misalnya terapi
wicara—untuk yang mengalami gangguan bicara—bermanfaat untuk membantu anak
menyatakan keinginannya secara verbal. Terapi okupasi juga bermanfaat untuk
mengembangkan kemampuan memegang alat tulis dan beragam alat pendidikan,
demikian juga terapi edukasi yang membantu mempersiapkan anak pada situasi
belajar baik secara individual maupun klasikal.
Penanganan dini pada masalah kesehatan yang menyertai keadaan autistik pada
anak dapat membantu pertumbuhan anak secara maksimal. Penggunaan obat-obatan,

Sekolah untuk Anak Autisti

diet makanan tertentu, pemberian suplemen, maupun upaya medis lainnya dalam
rangka meningkatkan metabolisme dan sistem imunitas anak perlu dilakukan secara
terkendali di bawah pengawasan dokter dan paramedis. Pemberian imunisasi yang
terjadwal dan tertib juga akan membawa dampak positif pada anak autistik. Kesalahan
penanganan akibat ketidaktertiban orang tua dan pengasuh dapat memberikan dampak
negatif dalam jangka panjang bagi anak autistik.
Banyak upaya alternatif yang ditawarkan dalam menangani anak autistik.
Sebaiknya orang tua bijaksana dalam memilih upaya alternatif yang akan diberikan
pada anak autistik. Hasil yang positif pada satu anak autistik belum tentu berhasil
pada anak autistik lainnya. Hal ini mengingat gangguan yang dialami setiap anak
autistik bersifat spesifik dan unik. Perlu menjadi bahan pertimbangan juga bahwa
upaya alternatif yang diberikan, sebaiknya tidak membebani anak autistik secara
berlebihan baik secara fisik apalagi secara mental karena setiap shock yang diterima
anak autistik akan merangsang suatu sistem pertahanan diri yang bisa semakin
membuat anak berlindung dalam “dunia”-nya.
4. Pilihan pelayanan pendidikan bagi anak autistik.
Perdebatan ini dimulai ketika anak autistik menjelang usia prasekolah.
Pertanyaan: “Perlukah anak autistik masuk sekolah?” menjadi suatu momok yang
membebani setiap orang tua anak autistik. Sekolah yang bagaimana yang sesuai
dengan anak autistik? Adalah pertanyaan selanjutnya yang merupakan inti dari tujuan
menyekolahkan anak autistik. Jika anak mengalami keberbedaan fisik seperti anak-
anak tuna rungu, tuna netra, atau berbagai ketunaan lainnya tentu orang tua akan
segera mencarikan anak sekolah luar biasa yang sesuai dengan ketunaan yang
disandangnya. Namun jika hal ini terjadi pada anak autis, sekolah apa yang sesuai
untuknya?
Mari kita lihat terlebih dahulu berbagai pilihan pendidikan formal yang
ditawarkan bagi anak autistik.
a. Sekolah bersegregasi
Sistem pelayanan pendidikan segregasi di Indonesia lebih dikenal dengan
nama Sekolah Luar Biasa atau biasa disingkat dengan sebutan SLB. Sistem
layanan pendidikan yang basisnya adalah memisahkan anak berkebutuhan khusus
dari anak-anak lainnya akan memberikan dampak yang kurang memuaskan bagi

Sekolah untuk Anak Autistik

anak autistik. Masalah sosialisasi yang dialami anak autistik yang cenderung
menyendiri dan tidak peduli dengan lingkungannya akan semakin terpupuk bila
anak bersekolah di sekolah yang berpaham segregasi atau pemisahan ini. Dalam
keseharian di sekolah anak autistik akan juga meniru perilaku yang kurang tepat
dari siswa berkebutuhan khusus lainnya.
b. Sekolah mainstreaming
Sistem layanan pendidikan secara mainstreaming dimaksudkan sebagai cara
mencemplungkan anak autistik di sekolah reguler begitu saja. Dampak positif
yang diterima anak autistik bila bersekolah secara mainstreaming adalah anak
autistik secara langsung belajar dari lingkungannya bagaimana ia harus bersikap
dan bertutur sesuai dengan keadaan lingkungannya. Namun demikian ada juga
dampak negatif yang akan menimpa anak autistik, hal itu misalnya: kurikulum dan
metode pengajaran yang kurang sesuai bagi anak autistik yang kemudian justru
akan membebani anak dalam belajar.
Ketidaksiapan sarana belajar dan fasilitas pendukung yang dibutuhkan anak
autistik di sekolah reguler juga akan mempengaruhi proses belajar anak di
sekolah. Ketiadaan guru pendamping di awal-awal tahun dimulainya anak autistik
bersekolah tidak saja membebani guru kelas yang mengajar, tetapi juga akan
mempengaruhi siswa lain dan anak autistik sendiri di dalam kelas.
c. Sekolah Inklusi
Sekolah inklusi adalah sekolah reguler yang menerima anak berkebutuhan
khusus bersama dengan anak-anak biasa di kelas yang sama. Perbedaan sekolah
inklusi dengan sekolah mainstreaming terletak pada kesiapan sekolah termasuk di
dalamnya tenaga pengajar, kurikulum yang diadaptasi sesuai dengan kebutuhan
khusus anak dan fasilitas penunjang lainnya.
Saat ini jumlah sekolah inklusi masih sedikit, padahal prinsip inklusif yang
membaurkan anak-anak berkebutuhan khusus bersama dengan anak-anak lainnya
dalam belajar memberikan banyak keuntungan bagi anak-anak berkebutuhan
khusus dan lingkungannya untuk saling beradaptasi dan bersosialisasi. Pembauran
ini juga dapat meningkatkan empati dan pemahaman anak akan perbedaan yang
tidak perlu menjadi penghalang dalam pergaulan.
d. Sekolah di rumah (homeschooling)

Sekolah untuk Anak Autistik

Sekolah di rumah pada prinsipnya sama saja dengan bersekolah di sekolah
reguler, namun proses belajar-mengajar sebagian besar dilakukan di rumah
dengan orang tua atau guru khusus sebagai pembimbing utama. Metode klasikal
juga dapat dilakukan di rumah jika peserta didik cukup banyak.
Keuntungan sekolah di rumah atau biasa disebut homeschooling adalah lebih
terfokusnya perhatian pengajar pada peserta didik, demikian pula sebaliknya. Bila
orang tua sebagai pengajar utama cukup aktif dan kreatif mengembangkan metode
pengajaran, maka pilihan layanan pendidikan ini cukup memadai bagi anak
autistik.
5. Mempersiapkan anak autistik untuk sekolah.
Ketika usia anak mendekati usia sekolah, pertanyaan akan perlunya anak autistik
sekolah akan berkembang. Hal apa saja yang perlu dipersiapkan orang tua jika
memutuskan memasukkan anak autistik ke sekolah?
a. Kesiapan anak
Untuk mengetahui kesiapan anak autistik memasuki sekolah, ada baiknya
orang tua mendiskusikannya terlebih dahulu kepada psikolog yang merawat
anak autistik sebelumnya. Hal ini perlu dilakukan agar orang tua tidak secara
sepihak memaksakan anak autistik untuk masuk sekolah. Mintalah tes kesiapan
belajar bagi anak autistik bukan sekedar tes intelegensi, karena tujuannya adalah
mempersiapkan anak masuk sekolah reguler bukan sekedar mengetahui
kecerdasan anak autistik saja.
Mintalah pendapat dari para terapis tentang kesiapan anak masuk sekolah,
seperti misalnya: kemampuan menulis, kemampuan motorik halus anak,
ketahanan anak untuk duduk tenang selama jam pelajaran, kemampuan anak
mempertahankan perhatian pada pelajaran, kemampuan menyerap pengetahuan,
kemampuan berbicara (menyampaikan dan mendengar pendapat), minimalisasi
perilaku anak yang tidak umum, adaptasi dengan sebaya. Dan hal-hal lain
terkait dengan perilaku wajar yang harus ditampilkan di kelas.
Jika anak dinyatakan layak untuk mendapat layanan pendidikan di sekolah
reguler mintalah surat referensi dari psikolog dan terapis yang bersangkutan
untuk ditunjukkan kepada sekolah yang dituju. Surat referensi ini kemudian
akan digunakan sebagai dasar pembuatan kurikulum adaptasi bagi anak autistik.

Sekolah untuk Anak Autistik

Penyusunan kurikulum adaptasi atau biasa disebut PPI (Program Pembelajaran
Individual) dan IEP (Individual Educational Programme) harus dilakukan dan
disepakati bersama antara guru, orang tua, psikolog, manajemen sekolah, dan
terapis sebagai pedoman pengajaran harian anak autistik di sekolah.
b. Kesiapan orang tua
Sebagai orang tua selain persiapan dana yang cukup—termasuk dana
cadangan darurat bagi pendidikan anak autistik—orang tua perlu
mempersiapkan mental saat memasukkan anak autistik di sekolah reguler. Akan
banyak kejutan yang perlu disikapi secara bijaksana oleh orang tua di sekolah
reguler, seperti misalnya penolakan dari orang tua anak lain ataupun bullying
dari sesama siswa.
Kesiapan mental orang tua akan sangat mendukung anak dalam
mendapatkan layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhannya. Keaktifan
orang tua dalam membangun jejaring sosial di sekolah akan membantu anak
autistik untuk berkembang secara maksimal. Hal ini berguna selain untuk
mengkampanyekan keberadaan anak autistik juga untuk membangun
pemahaman lingkungan bahwa anak autistik tidak perlu dikhawatirkan akan
mengganggu stabilitas mental anak-anak lainnya, bahkan anak-anak akan bisa
belajar tentang arti kerukunan dalam keberbedaan.
Bagi orang tua yang memilih homeschooling sebagai pilihan layanan
pendidikan bagi anak autistik, orang tua juga perlu mempersiapkan mental
dalam menghadapi rutinitas belajar anak autistik sehari-hari. Kebosanan dan
kejenuhan karena perkembangan yang lambat dari anak autistik bila
dibandingkan dengan anak-anak lainnya seringkali membebani pikiran orang
tua, sehingga orang tua harus selalu punya kesabaran dan cara yang kreatif
untuk mengatasinya. Demikian pula bila akan menghadirkan pengajar
tambahan, orang tua harus mampu bekerjasama dengan baik dengan para
pengajar tersebut.
c. Kesiapan Guru atau Pengajar
Anak autistik pasti harus belajar bersama guru di kelas. Guru yang
memahami kondisi anak autistik akan lebih mudah menyampaikan pelajaran
dan mengelola kelas yang di dalamnya terdapat anak autistik. Pada saat ini

Sekolah untuk Anak Autistik

masih banyak guru yang belum memahami keberbedaan anak autistik dan cara
penanganannya di kelas. Hal ini seringkali membuat kendala dalam pengajaran
anak autistik di kelas. Oleh sebab itu, sebaiknya orang tua mempersiapkan anak
autistik masuk sekolah jauh sebelum waktu pendaftaran dibuka, misalnya 3-4
bulan sebelumnya. Orang tua sebaiknya melakukan pendekatan dengan calon
guru kelas sebelum anak autistik masuk sekolah. Orang tua juga wajib
menyampaikan perilaku khusus anak autistik yang harus diintegrasikan saat di
kelas nantinya. Kerjasama yang baik antara orang tua dan guru akan sangat
membantu anak autistik untuk belajar.
Guru pendamping (shadow teacher) juga diperlukan bagi anak autistik di
tahun-tahun pertama atau bahkan selama berada di sekolah dasar. Keberadaan
guru pendamping sebaiknya dipersiapkan lebih dini oleh para orang tua anak
autistik untuk mendampingi anak di kelas. Guru pendamping harus mampu
memediasi anak autistik untuk bersikap wajar selama jam pelajaran, senantiasa
mengembalikan perhatian anak autistik pada pelajaran, membantu anak
bersosialisasi dengan siswa lain di dalam dan di luar kelas, juga menjadi
jembatan antara anak autistik dengan guru kelas dan orang tua.
d. Layanan pendukung
Pengasuh atau pendamping adalah hal penting juga yang harus
dipersiapkan oleh orang tua. Idealnya seorang pengasuh hanya bertugas
mengantar pergi dan pulang sekolah serta menyiapkan bekal yang diperlukan
anak di sekolah. Namun demikian bila seorang pengasuh yang menemani anak
autistik ternyata memiliki pendidikan yang cukup dan kemauan untuk belajar
yang tinggi, kita bisa memintanya untuk mendampingi belajar anak misalnya
dalam mengerjakan pekerjaan rumah atau belajar tambahan di rumah. Perlu
diberi pemahaman bagi pengasuh bila ia mendampingi belajar anak autistik, ia
tetap harus mampu secara objektif membantu anak belajar mandiri. Ia tidak
boleh mengerjakan tugas anak autistik karena rasa kasihan atau sayangnya yang
berlebihan. Hal ini akan membuat anak autistik tidak akan mampu mengerjakan
tugas secara mandiri kelak.
Keberadaan anak autistik di sekolah sebaiknya juga mendapat perhatian
dari Dinas Pendidikan setempat di mana anak autistik akan disekolahkan.

Sekolah untuk Anak Autistik

Hubungi Kantor Dinas Pendidikan setempat sebelum anak autistik masuk
sekolah. Mintalah saran dan perhatian dari pejabat terkait agar anak autistik juga
mendapatkan legalisasi untuk bersekolah bersama anak-anak lain. Bawa juga
referensi yang diberikan psikolog dan para terapis sebagai bahan pertimbangan
Dinas Pendidikan untuk melegalisasi keberadaan anak autistik di sekolah.
“Sekolah atau tidak sekolah?” Orang tualah yang memutuskan mana yang terbaik
untuk anak-anak autistik. Keunikan, gangguan, dan masalah kesehatan anak autistik harus
dipahami dan dipersiapkan penanganannya secara dini. Kesiapan anak untuk belajar di
sekolah adalah dasar utama untuk memutuskan anak belajar di sekolah. Jangan
memaksakan diri untuk memasukkan anak ke sekolah bila anak autistik memang belum
siap belajar di kelas, apalagi bila orang tua belum siap untuk menyediakan tenaga, mental,
dana, dan layanan tambahan yang diperlukan. Hal ini bukan membantu anak untuk belajar
tetapi malah menjerumuskan anak untuk semakin tersiksa dengan dunia luar yang tidak
nyaman. Oleh sebab itu, keputusan orang tua untuk menyekolahkan anak autistik di
sekolah reguler baik secara mainstreaming ataupun inklusif harusnya dipersiapkan jauh-
jauh waktu secara matang dan terencana supaya sekolah benar-benar bisa menjadi sarana
belajar anak autistik yang menyenangkan bukan menyiksa.

Diupload ke situs Puterakembara atas seijin penulis (November 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar