Jumat, 04 Juni 2010

Kecemasan&Depresi, Eliminasi, Komunikasi

1. Penyakit Kecemasan Menyeluruh
DEFINISI
Semua orang mengalami ketakutan dan kecemasan
Ketakutan adalah respon emosional, psikis dan perilaku terhadap ancaman dari luar (misalnya orang asing atau mobil yang melaju kencang).
Kecemasan adalah suatu keadaan emosional yang tidak menyenangkan, yang memiliki sumber yang kurang jelas. Kecemasan seringkali disertai dengan perubahan fisiologis dan perilaku yang mirip dengan yang disebabakan oleh ketakutan. Karena kemiripan inilah maka orang sering menggunakan istilah kecemasan untuk ketakutan dan menggunakan istilah ketakutan untuk kecemasan.

Kecemasan merupakan suatu respon terhadap stres, seperti putusnya suatu hubungan yang penting atau bencana yang mengancam jiwa.
Kecemasan juga bisa merupakan suatu reaksi terhadap dorongan seksual atau dorongan agresif yang tertekan, yang bisa mengancam pertahanan psikis yang secara normal mengendalikan dorongan tersebut. Pada keadaan ini, kecemasan menunjukkan adanya pertentangan psikis.

Kecemasan bisa timbul secara mendadak atau secara bertahap selama beberapa menit, jam atau hari.
Kecemasan bisa berlangsung selama beberapa detik sampai beberapa tahun.
Beratnya juga bervariasi, mulai dari rasa cemas yang hampir tidak tampak sampai letupan kepanikan.

Kecemasan merupakan salah satu bagian dari respon yang penting dalam mempertahankan diri.
Sejumlah kecemasan tertentu merupakan bagian dari unsur peringatan yang tepat dalam suatu keadaan yang berbahaya.
Tingkat kecemasan seseorang memberikan pergantian yang tepat dan tak tampak dalam suatu spektrum kesadaran, mulai dari tidur-siaga-kecemasan-ketakutan, demikian berulang-ulang.
Kadang sistem kecemasan seseorang tidak berfungsi dengan baik atau terlalu berlebihan sehingga terjadilah suatu penyakit kecemasan.

Jika kecemasan terjadi bukan pada saat yang tepat atau sangat hebat dan berlangsung lama sehingga mengganggu aktivitas kehidupan yang normal, maka hal ini sudah merupakan suatu penyakit.
Penyakit kecemasan sangat mengganggu dan begitu mempengaruhi kehidupan penderitanya sehingga bisa terjadi depresi.
Beberapa penderita memiliki penyakit kecemasan dan depresi pada saat yang bersamaan. Penderita lainnya lebih dulu mengalami depresi, baru kemudian menderita penyakit kecemasan.

Penyakit kecemasan merupakan penyakit psikis yang paling sering tejadi.
Diagnosis terutama ditegakkan berdasarkan gejala-gejalanya.
Tetapi gejala yang sama bisa juga disebabkan oleh suatu keadaan medis (misalnya hipertiroidisme) atau karena pemakaian obat dari dokter maupun obat terlarang (misalnya kortikosteroid atau kokain).
Riwayat keluarga dengan penyakit kecemasan bisa membantu dalam menegakkan diagnosis, karena penyakit ini seringkali diturunkan.


PENYAKIT KECEMASAN MENYELURUH

Penyakit Kecemasan Menyeluruh merupakan kecemasan dan kekhawatiran yang berlebihan akan sejumlah aktivitas atau peristiwa, yang berlangsung hampir setiap hari, selama 6 bulan atau lebih.

Kecemasan dan kekhawatiran ini sangat berlebihan sehingga sulit dikendalikan.
Selain itu, penderita mengalami 3 atau lebih dari gejala-gejala berikut:
- gelisah
- mudah lelah
- sulit berkonsentrasi
- mudah tersinggung
- ketegangan otot
- gangguan tidur.

Kekhawatiran bisa mengenai pekerjaan, keuangan, kesehatan, keselamatan dan tugas-tugas.
Berat, frekuensi atau lamanya kekhawatiran tidak sebagnding dengan keadaan yang sesungguhnya.

Penyakit ini sering terjadi, sekitar 3-5% orang dewasa pernah mengalaminya.
2 kali lebih sering terjadi pada wanita.
Seringkali berawal pada masa kanak-kanan atau remaja.
Keadaan ini berfluktuasi, semakin memburuk ketika mengalami stres dan menetap selama bertahun-tahun.

Untuk mengatasinya biasanya diberikan obat anti-cemas (misalnya benzodiazepin); tetapi karena pemberian jangka panjang bisa menyebabkan ketergantungan fisik, maka dosisnya harus dikurangi secara perlahan, tidak dihentikan secara tiba-tiba.
Buspiron merupakan obat lainnya yang juga efektif untuk mengatasi kecemasan menyeluruh. Pemakaian obat in tampaknya tidak menyebabkan ketergantungan fisik. Tetapi efeknya baru tampak setelah 2 minggu atau lebih, sedangkan efek benzodiazepin akan tampak beberapa menit setelah pemberian obat.

Terapi perilaku biasanya tidak efektif, karena keadaan yang memicu terjadinya kecemasan tidak jelas.
Kadang dilakukan relaksasi dan teknik biofeed-back.

Penyakit kecemasan menyeluruh bisa berhubungan dengan pertentangan psikis.
Pertentangan ini seringkali berhubungan dengan rasa tidak aman dan sikap kritis yang merusak diri sendiri.
Pada keadaan ini dilakukan psikoterapi untuk membantu memahami dan menyelesaikan pertentangan psikis.


2. KECEMASAN KARENA OBAT ATAU MASALAH KESEHATAN

Kecemasan bisa terjadi karena suatu kelainan medis atau pemakaian obat.
Penyakit yang bisa menyebabkan kecemasan adalah:
- Kelainan neurologis (cedera kepala, infeksi otak, penyakit telinga bagian dalam)
- Kelainan jantung & pembuluh darah (gagal jantung, aritmia)
- Kelainan endokrin (kelenjar adrenal atau kelenjar tiroid yang hiperaktif)
- Kelainan pernafasan (asma dan penyakit paru obstruktif menahun).

Obat-obatan yang dapat menyebabkan kecemasan adalah alkohol, stimulan (perangsang), kafein, kokain dan obat-obat yang diresepkan lainnya.
Kecemasan juga bisa terjadi bila pemakaian obat dihentikan.

Kecemasan akan berkurag jika penyakit penyebabnya diobati atau jika pemakaian obat dihentikan.
Sisa-sisa kecemasan bisa diobati dengan obat anti-cemas yang sesuai, terapi perilaku atau psikoterapi.

Teori Gangguan Kecemasan dan Depresi
Menurut Teori Kajian Keluaga, Gangguan kecemasan biasanya terjadi dalam keluarga. Kecemasan dapat terjadi dan timbul secara nyata akibat adanya konflik dalam keluarga. Gangguan kecemasan juga tumpang tindih antara gangguan kecemasan dengan depresi. Sementara Teori Kajian Biologis, Menunjukkan bahwa otak mengandung reseptor khusus untuk benzodiazepin, obat-obatan yang meningkatkan neuroregulator inhibisi asam gama-aminobutirat (GABA), yang berperan penting dalam mekanisme biologis yang berhubungan dengan kecemasan. Selain itu, kesehatan umum individu dan riwayat kecemasan pada keluarga memiliki efek nyata sebagai predisposisi kecemasan. Kecemasan mungkin disertai dengan gangguan fisik dan selanjutnya menurunkan kemampuan individu untuk mengatasi stressor.

3. Kecemasan dan Depresi pada anak
Latar Belakang
Blog ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi tugas kuliah psikologi anak khusus. Kecemasan biasa terjadi, akan tetapi apabila kecemasan yang berlebihan dikategorikan ke dalam abnormalitas. Merupakan salah satu kriteria dalam DSM III, DSM III-R, DSM IV.
Pengantar
Anak-anak yang memiliki masalah-masalah yang terinternalisasi seperti kecemasan dan depresi, lebih besar kemungkinannya untuk tidak terangani dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki masalah yang berkaitan dengan perilaku agresif (tereksternalisasi) yang cenderung lebih mengganggu bagi orang tua.
Pengertian
Kecemasan menurut Fausiah (2003) adalah respon terhadap situasi tertentu yang mengancam, dan merupakan hal yang normal terjadi menyertai perkembangan, perubahan, pengalaman baru, menemukan identitas diri dan arti hidup. Depresi adalah rasa tidak berdaya, pola berpikir yang lebih terdistorsi, menyalahkan diri sendiri, terutama hal-hal yang negatif, sedih, apatis, sulit tidur, lelah, kurang nafsu makan, ingin bunuh diri (Nevid, 2002).
Jenis
Jenis-jenis kecemasan (Nevid, 2002) : fobia, PTSD (Post traumatic syndrome disorder), gangguan mood, depresi.
Ciri
Orang yang cemas seringkali disertai dengan gejala fisik seperti sakit kepala, jantung berdebar cepat, dada serasa sesak, sakit perut, tidak tenang, mondar-mandir, tidak dapat duduk (Fausiah, 2003).
Data
Berdasarkan laporan dari U.S. Surgeon General, satu diantara sepuluh anak menderita gangguan mental yang cukup parah, hal ini menyebabkan terganggunya perkembangan anak (“A Children’s Mental Illness Crisiss,” dalam Nevid, 2002). Anak-anak Amerka banyak yang mengalami gangguan mental daripada gabungan penderita diabetes, AIDS, dan leukemia (Chamberlin dalam Nevid, 2002). Sekitar 60-80% dari anak-anak yang memiliki gangguan kesehatan mental tidak memperoleh penanganan yang dibutuhkan (Goldberg dalam Nevid, 2002). Kecemasan dan depresi lebih banyak mempengaruhi anak laki-laki daripada perempuan.
Faktor penyebab Depresi (Nevid, 2002) : Gender, usia, geografi, ras, depresi dan keputusasaaj, perilaku bunuh diri sebelumnya, masalah keluarga, kejadian-kejadian yang menimbulkan stres, penyalahgunaan obat, penularan sosial, pengaruh media massa.
Faktor penyebab kecemasan (Kaplan, 2002) : sinyal kepada ego bahwa suatu dorongan yang tidak dapat diterima menekan untuk mendapatkan perwakilan dan pelepasan sadar, sistem saraf otonom, pencitraan otak, genetis, neuroanatomis, psikososial.
Terapi
o Psikoanalitik,
o Behavioral,
o Kognitif,
o Biologis,
o Relaksasi.

4. DEPRESI SOSIAL
Gejala dan Akar Penyebabnya
Istilah stress dan depresi sering tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Setiap permasalahan kehidupan yang menimpa seseorang disebut stressor psikososial, yang dapat mengakibatkan gangguan fungsi organ tubuh. Reaksi tubuh (fisik) dinamakan stress. Manakala fungsi organ-organ tubuh sampai terganggu dinamakan distress. Sedangkan depresi adalah reaksi kejiwaan (psikis) seseorang terhadap stressor yang dialami. Karena faktor fisik dan psikis dalam diri manusia saling mempengaruhi, maka antara stress dan depresi juga saling mempengaruhi dan merupakan satu kesatuan. Reaksi kejiwaan lainnya yang berhubungan dengan stress adalah kecemasan (anxiety).
Kecemasan dan depresi merupakan dua jenis gangguan kejiwaan yang saling berkaitan. Seseorang yang mengalami depresi sering juga mengalami kecemasan, demikian pula sebaliknya. Gejala fisik maupun psikis (depresi dan kecemasan) sering tumpang-tindih, tidak ada batasan yang jelas. Seseorang yang mengalami stress dapat diartikan bahwa orang itu memperlihatkan berbagai keluhan fisik, kecemasan, dan juga depresi. Faktor-faktor psikososial seperti masalah keuangan, pekerjaan, keluarga, hubungan interpersonal dan sebagainya cukup menjadi pemicu terjadinya stress atau depresi pada seseorang. Depresi ditandai dengan kemurungan, kelesuan, ketiadaan gairah hidup, perasaan tidak berguna, putus asa, dan sebagainya.
Terus Meningkat
Dari sekian banyak masalah kesehatan yang cenderung meningkat, kesehatan jiwa merupakan masalah yang makin nyata peningkatannya. Data yang diperoleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan, 10 persen dari populasi penduduk dunia membutuhkan pertolongan atau pengobatan di bidang kesehatan/psikiatri. Bahkan menurut studi World Bank tahun 1993 di beberapa negara, 8,1 persen dari global burden disease (penyakit akibat beban globalisasi) disebabkan oleh masalah kesehatan jiwa, yang menunjukkan dampak yang lebih besar daripada penyakit TBC (7,2 persen), kanker (5,8 persen), jantung (4,4 persen), dan malaria (2,6 persen). Hasil survei Prof. Ernaldi Bahar tahun 1995 dan Direktorat Kesehatan Jiwa tahun 1996 menyatakan, bahwa di Indonesia, 1-3 dari setiap 10 orang mengalami gangguan jiwa. Gangguan jiwa yang dimaksud bukanlah gangguan jiwa yang dipahami oleh sebagian masyarakat sebagai “orang gila”, tetapi dalam bentuk gangguan mental serta perilaku yang gejalanya mungkin tidak disadari oleh masyarakat; seperti depresi, kecemasan, kepanikan, penyakit yang berhubungan dengan kondisi psikologis (psikosomatis); juga yang berhubungan dengan masalah psikososial seperti tawuran, perceraian, kenakalan remaja, dan penyalahgunaan Napza (narkotika, psikotropika, dan zat adiktif yang lain).
Berapa banyak anggota masyarakat Indonesia yang mengalami depresi belum ada data yang pasti. Namun, diperkirakan jumlahnya semakin banyak karena beberapa hal, antara lain: usia harapan hidup semakin bertambah, stressor psikososial semakin berat, berbagai penyakit kronik semakin bertambah, serta kehidupan masyarakat yang semakin hedonistik dan jauh dari nilai-nilai transendental (ruhiah). Meningkatnya angka depresi juga dapat dilihat dari semakin banyaknya pasien yang berobat di klinik psikiatri di rumah sakit, meningkatnya pemakaian obat-obat anti depresi, dan semakin meningkatnya kasus bunuh diri.
Depresi merupakan penyebab utama bunuh diri. Bunuh diri sebagai jalan terakhir bagi orang yang mengalami depresi juga meningkat tajam. Jumlah kasus bunuh diri di Indonesia selama 6 bulan terakhir pada tahun 2004 sudah mencapai 92 kasus. Hampir menyamai jumlah seluruh korban tahun 2003 yang tercatat 112 kasus. Peningkatan kasus ini jelas merupakan suatu gejala yang mencemaskan. Faktor penyebab dari banyaknya kasus bunuh diri adalah adanya ketidakmampuan seseorang dalam mengelola stress yang dialami.
Di AS, setiap tahun sekitar 1,3 juta orang mencoba bunuh diri dan lebih kurang 400.000 orang di antaranya tewas. Angka ini 1,5 kali lebih banyak daripada angka kematian akibat tindak kriminal. Walhasil, angka bunuh diri di AS menempati urutan ketiga terbesar penyebab kematian penduduk usia 15-24 tahun. Salah satu tempat favorit untuk bunuh diri adalah jembatan terkenal Golden Gate Bridge di San Fransisco. Lebih kurang 850 orang di laporkan telah tewas bunuh diri di jembatan berwarna merah yang sangat terkenal itu (Kompas, 17/7/2004).
Faktor Penyebab
Penyebab stress kadangkala mudah untuk dideteksi, tetapi sering sulit untuk diketahui. Ada yang mudah untuk dihilangkan, ada yang sulit atau bahkan tidak bisa dihindari. Tiga sumber utama adalah: lingkungan (keluarga dan masyarakat serta negara), badan dan pikiran yang keduanya bisa dimasukkan sebagai faktor individu.
Faktor Individu.
Stress dapat ditimbulkan oleh perubahan faali pada tubuh seseorang yang terjadi. Contohnya, perubahan yang terjadi waktu remaja, perubahan fase kehidupan akibat fluktuasi hormon, dan proses penuaan. Selain itu, datangnya penyakit, makanan yang tidak sehat, kurang tidur dan olahraga juga akan mempengaruhi respon terhadap stress.
Potensi stress utama juga datang dari pikiran yang terus-menerus menginterpretasikan isyarat-isyarat dari lingkungan secara tidak tepat. Bagaimana seseorang menginterpretasi peristiwa-peristiwa yang terjadi menentukan apakah ia akan mengalami stress atau tidak. Ini sangat dipengaruhi oleh cara berpikir seseorang dari yang bersifat sederhana sampai yang filosifis menyangkut pandangan hidup. Contoh sederhana, di depan ada gelas berisi air separuh, bagaimana seseorang milihatnya? Sebagai setengah penuh atau setengah kosong? Pikiran-pikiran yang menyebabkan stress sering bersifat negatif, penuh kegagalan, katastrofik, hitam-putih, terlalu digeneralisasi, tidak berdasarkan fakta yang cukup, dan terlalu dianggap pribadi.
Pandangan hidup seseorang sangat berpengaruh pada bagaimana orang tersebut menjalani kehidupannya. Pandangan hidup yang materialistis tentu akan mempengaruhi cara berpikir dan perilaku seseorang. Tolok ukur keberhasilan dan kesuksesan hidup jadinya bersifat material. Akibatnya, jika kebutuhan itu tidak terpenuhi, akan timbul kegelisahan yang luar biasa. Ketika orang kehilangan pangkat, jabatan, status sosial, uang, kekuatan fisik, intelektual, cinta, perhatian, dan lain-lain yang bersifat lahiriah, maka ia bisa merasa tak berguna lagi.
Di sinilah pentingnya memahami apa sesungguhnya hakikat manusia diciptakan. Pemahaman ini akan mengubah cara pandang terhadap peristiwa apapun yang dihadapi dalam hidup ini sehingga memunculkan keberanian dan optimisme.
Faktor Lingkungan.
Lingkungan selalu membuat kita harus memenuhi tuntutan dan tantangan, yang karenanya merupakan sumber stress yang potensial; misalnya ketika orang mengalami musibah akibat terjadinya bencana alam (banjir, gempa bumi dan sebagainya) atau cuaca buruk, kemacetan lalu-lintas, beban pekerjaan, problema rumahtangga, dan hubungan antarmanusia; atau ketika orang dituntut untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan kondisi keuangan, pindah kerja, atau kehilangan orang yang dicintai.
Lingkungan paling dekat dan karenanya sangat mudah mempengaruhi kondisi kejiwaan seseorang adalah keluarga. Kehadiran orangtua (terutama ibu) dalam perkembangan jiwa anak amat penting. Jika anak kehilangan peran dan fungsi ibunya—sehingga dalam proses tumbuh kembangnya ia kehilangan haknya untuk dibina, dibimbing, diberikan kasih sayang, perhatian, dan sebagainya—maka ia disebut mengalami “deprivasi maternal”. Jika peran ayahnya yang tidak berfungsi, maka ia disebut sebagai “deprivasi paternal”.
Dalam keluarga yang mengalami disfungsi perkawinan, peran orangtua dalam mendidik anak akan terganggu. Akibatnya, besar kemungkinan selama pertumbuhannya, anak akan mengalami deprivasi. Anak mungkin tidak kehilangan ibunya secara fisik. Namun, jika peran ibu yang amat penting dalam proses imitasi dan identifikasi dirinya tidak ada, maka perkembangannya akan terganggu. Hal yang sama bakal terjadi pada anak jika figur dan peran ayahnya tidak ada.
Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang mengalami disfungsi perkawinan dan mengalami deprivasi maternal (juga paternal dan atau parental), mempunyai risiko tinggi menderita gangguan kepribadiannya; yaitu gangguan dalam perkembangan mental-intelektual, perkembangan mental-emosional, bahkan perkembangan psikososial dan spiritualnya. Tidak jarang dari mereka, jika kelak dewasa, akan memperlihatkan berbagai perilaku yang menyimpang, anti sosial, bahkan sampai melakukan tindak kriminal.
Anak-anak sebagaimana digambarkan di atas pada umumnya dibesarkan dalam keluarga yang tidak sehat dan tidak bahagia. Hal ini disebabkan karena ketidakberadaan orangtua atau karena tidak berfungsinya orangtua sebagaimana mestinya. Dalam 20 tahun terakhir ini, para ahli telah melakukan berbagai penyelidikan perihal pola perkawinan/keluarga yang ternyata tidak sehat dan tidak membawa kebahagian rumahtangga, yang dampaknya amat tidak baik bagi tumbuh-kembang anak.
Dua sarjana dari Universitas Nebraska (AS), yaitu Prof. Nick Stinnet dan Prof. John De Frain, dalam studinya yang berjudul, “The National Study On Family Strenght,” mengemukakan bahwa paling sedikit harus ada enam kriteria bagi perwujudan suatu keluarga/rumahtangga yang dapat dikategorikan sebagai keluarga yang sehat dan bahagia, yang amat penting bagi tumbuh kembangnya anak. Keenam kriteria tersebut adalah:
Kehidupan beragama dalam keluarga.
Mempunyai waktu untuk bersama.
Mempunyai pola komunikasi yang baik antar sesama anggota keluarga.
Saling menghargai satu sama lain.
Masing-masing anggota keluarga merasa terikat dalam ikatan keluarga sebagai kelompok.
Jika terjadi suatu permasalahan, mampu menyelesaikan secara positif dan konstruktif.
Para ahli berpendapat bahwa perceraian, perpisahan, serta pertengkaran antara ayah dan ibu akan berpengaruh pada anak. Anak mempunyai risiko tinggi untuk menjadi nakal dengan tindakan-tindakan anti sosial. Berikut ini adalah hasil penelitian yang menunjukkan adanya pengaruh kondisi orangtua terhadap kenakalan anak. (M. Rutter: Parent-Child Separation, 1980).
1. Pada keluarga broken homes, kenakalan anak laki-laki jauh lebih tinggi presentasinya daripada keluarga yang orangtuanya meninggal atau keluarga utuh.
2. Meskipun keluarga utuh (kedua orangtua masih hidup dan tinggal satu atap), suasana rumah yang tidak sehat dan tidak bahagia akan menyebabkan prosentase anak menjadi nakal semakin tinggi. Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Graig dan Glick (1965), Mc Cord (1959), Tait dan Hodges (1962).
3. Ada perbedaan perkembangan anak yang hidup dalam suasana rumah yang tegang (tension) dan hangat (warm). Suasana rumahtangga yang tegang mengakibatkan tingginya prosentase perilaku menyimpang anak. Sebaliknya, suasana rumah yang hangat di antara kedua orangtua menurunkan prosentase kenakalan anak.
4. Hubungan buruk antara anak dan kedua orangtua mengakibatkan prosentase kenakalan anak meningkat.
Lingkungan kedua yang memasok faktor munculnya stress tentu saja adalah masyarakat. Masyarakat yang berpaham materialis cenderung individualis. Kepekaan terhadap lingkungan sosialnya sangat rendah. Orang akan bersaing untuk untuk dirinya sendiri dengan berbagai cara tanpa mempedulikan kepentingan orang lain. Hubungan interpersonal semakin fungsional dan cenderung mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan seperti keramahan, perhatian, toleransi, dan tenggang rasa. Akibatnya, tekanan isolasi dan keterasingan kian kuat; orang makin mudah kesepian di tengah keramaian. Inilah yang disebut lonely crowded, gejala mencolok dari masyarakat kapitalis di mana-mana.
Orang yang banyak mengikuti kegiatan sosial seperti pengajian, dakwah, dan kegiatan sosial lain akan merasa dirinya diperhatikan sebagai bagian dari kebersamaan. Biasanya, dalam perkumpulan seperti itu, kebutuhan dan kesulitan bersama dibicarakan. Aktivitas-aktivitas seperti itu perlu makin dikembangkan guna mengatasi rasa cemas dalam kehidupan bersama khususnya di perkotaan. Dengan demikian, kebutuhan akan perhatian, dihargai, hingga aktualisasi diri dapat diwujudkan. Selain itu, perkumpulan-perkumpulan semacam itu menjadi bagian dari kontrol bagi para anggotanya.
Penentu corak lingkungan utama di mana individu dan masyarakat hidup tentu saja adalah negara. Banyak sebab terjadinya kasus bunuh diri dan depressi di tengah masyarakat tidak lepas dari faktor kesulitan ekonomi, rendahnya pendidikan, buruknya tingkat kesehatan, dan beban hidup yang semakin tinggi. Kasus bunuh diri terbanyak di berbagai daerah di Indonesia, termasuk Jakarta, terutama diakibatkan oleh tekanan ekonomi di tengah situasi sosial politik yang carut-marut. Relasi sosial yang sehat hanya dapat terbentuk jika kebutuhan dasar masyarakat terpenuhi—pangan, sandang, dan papan, kesehatan, pendidikan dasar, dan ruang-ruang publik yang memungkinkan orang berinteraksi secara normal.
Menurut E. Kristi Purwandari, pengajar Fak. Psikologi UI, faktor penyelenggaraan kehidupan bernegara yang carut-marut menjadi penyebab depresi terbesar bagi masyarakat Indonesia, terutama kalangan menengah ke bawah. Keadaan seperti ini menyebabkan orang frustasi dan putus harapan karena merasa tidak memiliki masa depan. Seseorang cenderung kecil hati dan cepat menyerah menghadapi realitas hidup. Ditambah dengan makin maraknya ketidakadilan di berbagai bidang (ketidakadilan ekonomi, ketidakadilan hukum, ketidakadilan politik, dan sebagainya) yang membuat hidup di Indonesia dirasakan tidak nyaman. Tidak aneh jika stress dan depresi meningkat.
Di bidang kesehatan, misalnya, pemerintah Indonesia terbukti tidak mampu menyediakan lingkungan sosial yang kondusif untuk kesehatan mental masyarakat. Tentang ini, menurut Kirti, Pemerintah Indonesia masuk dalam kategori sangat buruk dalam layanan kesehatan masyarakat, terutama karena perilaku para penguasa yang membuat kondisi kejiwaan rakyat terganggu, di samping ketidakadilan dan kesewenang-wenangan yang menjadikan orang depresi dan kehilangan makna hidup.
Televisi sebagai media yang banyak menayangkan adegan kekerasan disinyalir juga memiliki andil dalam mengajari bagaimana orang menyelesaikan masalah, terutama pada anak-anak. Maraknya tindak kekerasan yang dilakukan oleh anak sedikit banyak dipengaruhi oleh tayangan itu. Dalam hal ini, negara (pemerintah) mestinya mengatur tayangan tivi agar tidak berdampak buruk pada perilaku anak-anak. Akan tetapi, faktanya?
Perlu Solusi Total
Ada kecenderungan, orang yang mengalami stress mencari solusi yang bersifat sesaat dan justru menimbulkan kemadaratan. Ini ditunjukkan oleh semakin maraknya dunia hiburan, penyaluran hobi, seks bebas, dan sebagainya. Alkohol, obat-obatan, merokok, dan makan berlebihan juga sering dijadikan alat untuk membantu menghadapi stres. Padahal, efeknya hanya berlangsung sementara, dan dalam jangka panjang akan merusak badan dan pikiran atau jiwa. Perilaku lainnya yang terlihat adalah sikap menunda-nunda, perencanaan yang buruk, tidur berlebihan dan menghindari tanggung jawab. Taktik ini malah merugikan karena menimbulkan masalah baru bagi individu tersebut.

5. TERAPI DARI ENCOPRESIS (GANGGUAN ELIMINASI)
Penderita encopresis membutuhkan penanganan yang tepat dengan melakukan terapi. Menurut Rini prinsip terapinya adalah konseling atau edukasi pada anak mengenai BAB. Mereka dapat cepat memahami penjelasan yang diberikan mengingat kemampuan kognitif anak seusia ini sudah berkembang.
Salah satunya adalah terapi yang bisa dilakukan kalau anak selalu menahan BAB karena merasa jijik dan tak mau masuk ke kamar mandi umum:
* Tanamkan bahwa tidak semua kamar mandi umum/sekolah akan resik dan wangi sesuai dengan harapannya.
* Sebelum menggunakan toilet umum/sekolah, minta ia membersihkan dengan menyiramnya terlebih dahulu.
* Tak ada salahnya anak selalu dibekali tisu, masker, dan pengharum ruangan untuk lebih menyamankannya saat di toilet umum.
* Yang pasti, jangan beri anak pembalut untuk mengatasi encopresis-nya. Ini justru tak mendidik.
* Jika masalah psikologis anak tampak berat, sampai stres atau trauma misalnya, ada baiknya orang tua dan anak duduk bersama membahas permasalahan yang dihadapi. Jika perlu konsultasikan dengan psikolog.
* Terapkan pola makan yang baik dan teratur. Usahakan banyak mengonsumsi makanan berserat, sayuran, buah-buahan, serta susu. Kurangi konsumsi makanan berlemak tinggi, junk food, dan soft drink.
* Kepada anak yang selalu merasa nyeri saat mau BAB bisa diberikan obat-obatan untuk pengencer tinja. Namun, penggunaanya harus tetap berdasarkan rekomendasi dokter.
* Ajarkan untuk melakukan BAB secara teratur, misalnya pagi atau malam hari.
* Yang pasti, anak jangan disalahkan atau dicemooh kalau mengalami encopresis.
Mestinya orang tua selalu mendukung dan membantu kesulitan anak.

6.ASKEP ELIMINASI
A. Pengertian
Penyakit ginjal utamanya akan berdampak pada sistem tubuh secara umum. Salah satu yang terserinag ialah gangguan urine. Gangguan eliminasi urine kemungkinan disebabkan (Supratman. 2003)
1.Inkopenten outlet kandung kemih;
2.Penurunan kapasitas kandung kemih;
3.penurunan tonus otot kandung kemih;
4.Kelemahan otot dasar panggul.
Beberapa masalah eliminasi urine yang sering muncul, antara lain :
1.Retensi
2.Enuresis
3.Inkontinensis
4.Perubahan pola
B.Retensid Urine
1.Pengertian
Ialah penumpukan urine acuan kandung kemih dan ketidaksanggupan kandung kemih untuk mengosongkan sendiri.
Kemungkinan penyebabnya :
Operasi pada daerah abdomen bawah.
Kerusakan ateren
Penyumbatan spinkter.
2.Tanda-tanda
Ketidak nyamanan daerah pubis.
Distensi dan ketidaksanggupan untuk berkemih.
Urine yang keluar dengan intake tidak seimbang.
Meningkatnya keinginan berkemih.
3.Rencana Tindakan
Kemungkinan latihan kembali kandung kemih atau pengkondisian kembali.
Ajarkan individu meregangkan abdomen dan melakukan manuver vaiava’s.
Ajarkan manuver crede’s
Ajarkan individu regangan anal.
Mengintruksikan individu untuk mencoba ketiga teknik untuk menentukan yang mana yang paling efektif dalam mengosongkan kandung kemih.
Catatan masukan dan keluaran teknik mana yang digunakan untuk menimbulkan berkemih.
C.Tinusis
1.Pengertian
Ialah keluarnya kencing yang sering terjadi pada anak-anak umumnya malam hari.
Kemungkinan peyebabnya :
Kapasitas kandung kemih lebih kecil dari normal.
Kandung kemih yang irritable
Suasana emosiaonal yang tidak menyenangkan
ISK atau perubahan fisik atau revolusi.
2.Rencana Tindakan
a.Jelaskan sifat enuresis pada orang tua dan anak
b.Jelaskan pada orang tua bahwa rasa tidak setuju adalah hal yang tidak menghentikan enuresis tetapi akan membuat anak jadi malu, dan takut.
c.Tawarkan keyakinan pada anak bahwa anak lain pu membasahi tempat tidur mereka dimalam hari.
d.Ajarkan :
Beri dorongan untuk menunda berkemih.
Menyuruh anak berkemih sebelum tidur.
Membatasi cairan selama waktu tidur.
Jika anak terbangun malam hari untuk berkemih kuatkan dorongan itu
TeNtang sensasi saat waktu berkemih
Kemampuan anak dalam mengontrol perkemihan.
D.Inkontinesia Urine
Ialah bak yang tidak terkontrol.
Jenis inkotinensio
1.Inkontinensio Fungsional/urge
a.Pengertian
Ialah keadaan dimana individu mengalami inkontine karena kesulitan dalam mencapai atau ketidak mampuan untuk mencapai toilet sebelum berkemih.
b.Faktor Penyebab
Kerusakan untuk mengenali isyarat kandung kemih.
Penurunan tonur kandung kemih
Kerusakan moviliasi, depresi, anietas
Lingkungan
Lanjut usia.
c.Rencana tindakan
Kaji kemundura sensori
Kaji kemunduran motorik
Kurangi hambatan lingkungan
Ajarkan toileting untuk individu dengan kemundura kognitif
Ajarkan toileting untuk individu dengan keterbatasan fungsi tangan.
2.Inkontinensia Stress
a.Pengertian
Ialah keadaan dimana individu mengalami pengeluaran urine segera pada peningkatan dalam tekanan intra abdomen.
b.Faktor Penyebab
Inkomplet outlet kandung kemih
Tingginya tekanan infra abdomen
Kelemahan atas peluis dan struktur pengangga
Lanjut usia.
c.Rencana tindakan
Kaji pola berkemih dan masukan cairan.
Latihan kekuatan dengan latihan kegel.
Ajarkan untuk mengurangi tekanan infra abdomel
Ajarkan untuk menghentikan dan memulai aliran urin tiap kali berkemih.
3.Inkontinensia Total
a.Pengertian
Ialah keadaan dimana individu mengalami kehilangan urine terus menerus yang tidak dapat diperkirakan.
b.Faktor Penyebab
Penurunan Kapasitas kandung kemih.
Penurunan isyarat kandung kemih
Efek pembedahan spinkter kandung kemih
Penurunan tonus kandung kemih
Kelemahan otot dasar panggul.
Penurunan perhatian pada isyarat kandung kemih
c.Rencana tindakan
Pertahankan hidrasi yang optimal
Tingkatkan berkemih
Berikan motivasi untuk meningkatkan kontrol kandung kemih.
Kaji partisipasi individu dalam program latihan ulang kandung kemih.
Kaji pola berkemih
Ajarkan pencegahan infeksi saluran kemih.
E.Perubahan Pola
1.Frekuensi
Meningkatnya frekuensi berkemih karena meningkatnya cairan.
2.Urgency
Perasaan seseorang harus berkemih.
3.Disaria
Adanya rasa sakit atau kesulitan dalam berkemih.
4.Urinari Suprei
Keadaan yang mendesak dimana produksi urine sangat kurang.

7. gangguan pengeluaran (eliminasi)
Kelainan Pada Anak dapat Diketahui pada Kebiasaan Mengompol
MENGATASI kebiasaan mengompol pada anak bukanlah hal yang mudah. Diperlukan kerja sama antara orangtua, anak, dan dokter. Selain itu, perlu kebijaksanaan, kesabaran, dan pengertian orangtua.
Begitu banyak keluhan dari para orangtua yang mengkhawatirkan dengan kebiasaan mengompol anak mereka. Apalagi, anak tetap mengompol setelah melewati usia 6–7 tahun. Tentunya akan menjadi suatu pertanyaan besar bagi orangtua.
Sebenarnya apa itu mengom pol? Dan mengapa hal itu terjadi dan bagaimana melatih mereka agar tidak lagi mengompol?
Mengompol istilah kedokterannya adalah enuresis, yaitu mengeluarkan air seni secara tidak sadar saat tidur pada usia yang seharusnya sudah dapat mengendalikan keinginan buang air kecil. Terkadang definisi mengompol juga digunakan untuk menyebut anak yang gagal mengontrol pengeluaran urine saat mereka dalam keadaan terjaga.
Sebenarnya, pada remaja dan orangtua mengompol juga sering terjadi. Namun bagi anak, mengompol sering merupakan hal yang sangat memalukan. Sedangkan bagi orangtua, hal ini dapat merupakan pengalaman yang menjengkelkan.
Lebih dari 50 juta anak-anak di seluruh dunia berusia 5–15 tahun masih mengompol. Satu dari empat anak tetap mengompol saat usia mereka 3,5 tahun. Sedangkan pada usia lima tahun, satu dari lima anak masih ngompol di tempat tidur dan pada usia enam tahun turun menjadi satu dari 10 anak. Biasanya enuresis akan berhenti ketika anak mencapai usia pubertas. Anak laki-laki lebih banyak yang mengompol dibanding anak perempuan.
“Ini merupakan masalah tersembunyi masa kanak-kanak karena orang cenderung untuk tidak berbicara tentang hal itu di luar rumah, sehingga sebagian besar anak-anak berpikir mereka satu-satunya yang dengan masalah,” kata dokter anak dari Washington DC, Amerika Serikat dan penulis buku “Waking Up Dry” dr Howard Bennett.
Bennett menyebutkan jenis mengompol dibagi dua. Mengompol primer yakni mengompol sejak bayi dan mengompol sekunder yakni kembali mengompol setelah anak tidak pernah mengompol lagi selama minimal enam bulan. Penyebab mengompol primer disebabkan adanya keterlambatan proses pematangan sistem saraf pada anak, di mana adanya ketidakmampuan otak untuk menangkap sinyal yang dikirimkan kandung kemih, gangguan hormonal, kelainan anatomi.
Misalnya kandung kemih yang kecil dan tidur yang sangat dalam sehingga anak tidak terbangun pada saat kandung kemih sudah penuh. Sedangkan penyebab dari mengompol sekunder bisa karena infeksi saluran kemih, gangguan metabolisme (kencing manis usia dini), gangguan saraf tulang belakang, tekanan yang berlebihan pada kandung kencing, terutama disebabkan gangguan pengeluaran kotoran sehingga akumulasi kotoran pada usus besar akan menekan kandung kencing.
Bahkan, keadaan stres juga dapat memicu terjadinya mengompol sekunder. Memang dahulu kebiasaan mengompol dianggap sebagai masalah psikologis. Namun, sekarang diketahui bahwa faktor biologis memegang peranan lebih besar. Dapat dipastikan juga, hal tersebut menurun dalam keluarga.
Lebih dari 75 persen anak-anak yang mempunyai orangtua dengan masalah mengompol, juga akan mempunyai masalah yang sama.
“Cerita soal masalah genetika ini kepada anak akan membuat hatinya lebih baik,” saran Bennett.
Mengompol dapat juga merupakan gejala dari suatu penyakit serius seperti kencing manis atau infeksi saluran kemih, terutama bila terjadi pada anak yang sebelumnya tidak pernah mengompol. Mengompol bukanlah merupakan kesalahan anak. Sayangnya, beberapa orangtua masih berpikir bahwa mengompol berasal dari kurangnya disiplin, dan dapat disembuhkan dengan hukuman.
Hal ini, terang Bennett, sangat jauh dari kebenaran. Penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 25 persen orangtua menghukum seorang anak atau menunjukkan ketidaksetujuan yang signifikan saat anak mengompol karena mereka pikir itu kesalahan anak.
Yang harus dilakukan orangtua jika anak mengompol adalah bersikaplah sewajarnya, jangan menunjukkan rasa jengkel, marah, atau bahkan panik.
Bicarakan baik-baik dengan si anak. Ada banyak kasus di mana anak berhenti mengompol setelah diajak bicara dari hati-hati. Beri dukungan kepada anak, ini adalah tindakan terpenting.
Jangan sekali-kali mempermalukan anak atau membandingkan dengan anak lain, malah bila si anak berhasil tidak mengompol berilah dia hadiah dan pujian tentang keberhasilannya di hadapan banyak orang, agar dia semakin termotivasi.
Minta anak Anda mengganti seprei serta pakaian tidurnya pada malam hari, bila anak tersebut sudah bisa melakukannya. Atau letakkan sebuah alas karet yang berlapiskan kain di dekat tempat tidur, sehingga anak dapat menutupi seprei yang dibasahinya. Lalu, pasanglah jam alarm yang akan berbunyi 2–3 jam setelah anak tertidur, jadi dia dapat terbangun untuk pergi ke kamar mandi.
Selain itu, pastikan anak Anda buang air kecil sebelum ke tempat tidur. Doronglah anak untuk mengikuti instruksi dari seorang dokter, seperti latihan pelemasan kandung kemih atau latihan menahan keluarnya air seni atau latihan modifikasi perilaku. Kalau perlu, belilah sebuah alarm antimengompol yang cocok untuk anak berusia lima tahun ke atas.
Alarm ini memiliki sensor kelembapan yang dikenakan langsung pada pakaian dalam. Pada tetes cairan pertama, sebuah bel akan mendengung, membangunkan si anak. Secara berangsur- angsur anak belajar untuk bangun ketika mereka merasa ingin buang air kecil.
Yang perlu juga diperhatikan oleh orangtua adalah, mengompol ini bisa sembuh sendiri. Seorang anak pengompol membutuhkan kesabaran, semangat, ketelatenan, dan keyakinan dari orangtua bahwa masalah tersebut hanya sementara. Biasanya antara usia 7–12 tahun sering terjadi kesembuhan, dan sedikit saja anak yang terus mengalaminya sampai remaja.
Satu hal menarik, pemberian air susu ibu (ASI) dapat mencegah mengompol yang berkelanjutan pada anak. Sebuah studi yang diterbitkan Journal of the American Academy of Pediatrics menyatakan bahwa bayi yang tidak minum ASI lebih cenderung mengompol dibanding bayi yang diberi ASI.
Penelitian dari Robert Wood Johnson Medical School, New Jersey, Amerika Serikat menyatakan selain kaya akan gizi yang penting bagi pertumbuhan bayi, ASI juga mengandung asam lemak yang bisa memperbaiki dan mempercepat pertumbuhan otak, sementara mengompol itu sendiri terjadi karena terhambatnya pertumbuhan syaraf otak (delayed neurodevelopment).
Dari hasil studi yang dilakukan pada 55 anak usia 5–13 tahun yang masih mengompol dan 117 mereka yang tak pernah mengompol, menunjukkan persentase mengompol pada anak yang mengonsumsi susu formula sekitar 81 persen, sementara mereka yang secara rutin mendapat ASI hanya 45 persen.
Namun, yang paling mengagumkan dalam studi ini adalah bayi yang mengonsumsi baik susu formula maupun susu ibu justru mengalami hasil yang sama dengan bayi yang hanya mendapat susu formula tanpa ASI. Selain mencegah mengompol, ASI diketahui juga manjur untuk menurunkan risiko diare, infeksi pernapasan, infeksi telinga, dan infeksi lain yang terjadi pada bayi.
sumber : http://www.suaramedia.com/gaya-hidup/kesehatan/16811-kelainan-pada-anak-dapat-diketahui-dari-kebiasaan-ngompol.html

8. Gangguan Eliminasi

Bayi yang baru lahir akan mengeluarkan output buangannya secara otomatis, baik itu urin maupun feses. Setelah anak semakin berkembang, mereka dilatih untuk menahan refleks natural yang memerintahkan untuk buang air kecil dan buang air besar. Pada buku klasik Pattern of Child Rearing, Robert Sears dan kawan-kawan (1957) menyatakan bahwa anak-anak Amerika sudah mulai dilatih untuk buang kecil rata-rata pada usia 18 bulan. Namun mengompol masih sering terjadi sampai usia 24 bulan. Saat ini kebanyakan anak di Amerika bisa mengompol pada usia 2 dan 3 tahun. Namun banyak yang masih terus mengompol setahun kemudian atau lebih.
Menurut DSM-IV-TR, gangguan eliminasi meliputi enuresis dan enkopresis, yang termasuk dalam aksis 1. Enuresis dan enkopresis merupakan gangguan yang melibatkan masalah dengan buang air kecil dan buang air besar tanpa penyebab organik. Gangguan eliminasi merupakan salah satu jenis gangguan yang mulai tampak pada bayi, kanak-kanak maupun remaja. Dalam hal ini, keberhasilan toilet training memiliki andil yang cukup besar. Menurut Erikson, toilet training merupakan langkah penting menuju otonomi dan kontrol diri (self-control).
9. Komunikasi
Komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi (pesan, ide, gagasan) dari satu pihak kepada pihak lain agar terjadi saling mempengaruhi di antara keduanya.[rujukan?] Pada umumnya, komunikasi dilakukan secara lisan atau verbal yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak.[rujukan?] Apabila tidak ada bahasa verbal yang dapat dimengerti oleh keduanya, komunikasi masih dapat dilakukan dengan menggunakan gerak-gerik badan, menunjukkan sikap tertentu, misalnya tersenyum, menggelengkan kepala, mengangkat bahu.[rujukan?] Cara seperti ini disebut komunikasi dengan bahasa nonverbal.[1]
Sejarah komunikasi
Komunikasi atau communicaton berasal dari bahasa Latin communis yang berarti sama.[2] Communico, communicatio atau communicare yang berarti membuat sama ((make to common).[2] Secara sederhana komuniikasi dapat terjadi apabila ada kesamaan antara penyampaian pesan dan orang yang menerima pesan. [3] Oleh sebab itu, komunikasi bergantung pada kemampuan kita untuk dapat memahami satu dengan yang lainnya (communication depends on our ability to understand one another). [4]
Pada awalnya, komunikasi digunakan untuk mengungkapkan kebutuhan organis.[5] Sinyal-sinyal kimiawi pada organisme awal digunakan untuk reproduksi.[5] Seiring dengan evolusi kehidupan, maka sinyal-sinyal kimiawi primitif yang digunakan dalam berkomunikasi juga ikut berevolusi dan membuka peluang terjadinya perilaku yang lebih rumit seperti tarian kawin pada ikan. [5].
Pada binatang, komunikasi juga dilakukan dengan cara yang sederhana melalui tindakan - tindakan yang bersifat reflek.[2] Menurut sejarah evolusi sekitar 250 juta tahun yang lalu munculnya "otak reptil" menjadi penting karena otak memungkinkan reaksi-reaksi fisiologis terhadap kejadian di dunia luar yang kita kenal sebagai emosi.[rujukan?] Pada manusia modern, otak reptil ini masih terdapat pada sistem limbik otak manusia, dan hanya dilapisi oleh otak lain "tingkat tinggi".[rujukan?]
Manusia berkomunikasi untuk membagi pengetahuan dan pengalaman.[2] Bentuk umum komunikasi manusia termasuk bahasa sinyal, bicara, tulisan, gerakan, dan penyiaran.[rujukan?] Komunikasi dapat berupa interaktif, transaktif, bertujuan, atau tak bertujuan.[rujukan?]
Melalui komunikasi, sikap dan perasaan seseorang atau sekelompok orang dapat dipahami oleh pihak lain.[rujukan?] Akan tetapi, komunikasi hanya akan efektif apabila pesan yang disampaikan dapat ditafsirkan sama oleh penerima pesan tersebut.[rujukan?]
Walaupun komunikasi sudah dipelajari sejak lama dan termasuk “barang antik”, topik ini menjadi penting khususnya pada abad 20 karena pertumbuhan komunikasi digambarkan sebagai “penemuan yang revolusioner”, hal ini dikarenakan peningkatan teknologi komunikasi yang pesat seperti radio.[rujukan?] Televisi, telepon, satelit dan jaringan komuter seiring dengan industiralisasi bidang usaha yang besar dan politik yang mendunia.[rujukan?] Komunikasi dalam tingkat akademi mungkin telah memiliki departemen sendiri dimana komunikasi dibagi-bagi menjadi komunikasi masa, komunikasi bagi pembawa acara, humas dan lainnya, namun subyeknya akan tetap. Pekerjaan dalam komunikasi mencerminkan keberagaman komunikasi itu sendiri.[rujukan?]
Komponen komunikasi
Komponen komunikasi adalah hal-hal yang harus ada agar komunikasi bisa berlangsung dengan baik.[rujukan?] Menurut Laswell komponen-komponen komunikasi adalah:[6]
• Pengirim atau komunikator (sender) adalah pihak yang mengirimkan pesan kepada pihak lain.
• Pesan (message) adalah isi atau maksud yang akan disampaikan oleh satu pihak kepada pihak lain.
• Saluran (channel) adalah media dimana pesan disampaikan kepada komunikan. dalam komunikasi antar-pribadi (tatap muka) saluran dapat berupa udara yang mengalirkan getaran nada/suara.
• Penerima atau komunikate (receiver) adalah pihak yang menerima pesan dari pihak lain
• Umpan balik (feedback) adalah tanggapan dari penerimaan pesan atas isi pesan yang disampaikannya.
• Aturan yang disepakati para pelaku komunikasi tentang bagaimana komunikasi itu akan dijalankan ("Protokol")
Proses komunikasi
Secara ringkas, proses berlangsungnya komunikasi bisa digambarkan seperti berikut.
1. Komunikator (sender) yang mempunyai maksud berkomunikasi dengan orang lain mengirimkan suatu pesan kepada orang yang dimaksud. Pesan yang disampaikan itu bisa berupa informasi dalam bentuk bahasa ataupun lewat simbol-simbol yang bisa dimengerti kedua pihak.[rujukan?]
2. Pesan (message) itu disampaikan atau dibawa melalui suatu media atau saluran baik secara langsung maupun tidak langsung. Contohnya berbicara langsung melalui telepon, surat, e-mail, atau media lainnya.[rujukan?]
media (channel) alat yang menjadi penyampai pesan dari komunikator ke komunikan.[rujukan?]
1. Komunikan (receiver) menerima pesan yang disampaikan dan menerjemahkan isi pesan yang diterimanya ke dalam bahasa yang dimengerti oleh komunikan itu sendiri.[rujukan?]
2. Komunikan (receiver) memberikan umpan balik (feedback) atau tanggapan atas pesan yang dikirimkan kepadanya, apakah dia mengerti atau memahami pesan yang dimaksud oleh si pengirim.[rujukan?]
Model-model komunikasi
Dari berbagai model komunikasi yang sudah ada, di sini akan dibahas tiga model paling utama, serta akan dibicarakan pendekatan yang mendasarinya dan bagaimana komunikasi dikonseptualisasikan dalam perkembangannya.[3]
Model Komunikasi Linear
Model komunikasi ini dikemukakan oleh Claude Shannon dan Warren Weaver pada tahun 1949 dalam buku The Mathematical of Communication.[6] Mereka mendeskripsikan komunikasi sebagai proses linear karena tertarik pada teknologi radio dan telepon dan ingin mengembangkan suatu model yang dapat menjelaskan bagaimana informasi melewati berbagai saluran (channel).[rujukan?] Hasilnya adalah konseptualisasi dari komunikasi linear (linear communication model).[1] Pendekatan ini terdiri atas beberapa elemen kunci: sumber (source), pesan (message) dan penerima (receiver).[3] Model linear berasumsi bahwa seseorang hanyalah pengirim atau penerima.[rujukan?] Tentu saja hal ini merupakan pandangan yang sangat sempit terhadap partisipan-partisipan dalm proses komunikasi.[1]
Model Interaksional
Model interaksional dikembangkan oleh Wilbur Schramm pada tahun 1954 yang menekankan pada proses komunikasi dua arah diantara para komunikator.[3] Dengan kata lain, komunikasi berlangsung dua arah: dari pengirim dan kepada penerima dan dari penerima kepada pengirim. Proses melingkar ini menunjukkan bahwa komunikasi selalu berlangsung. [1] Para peserta komunikasi menurut model interaksional adalah orang-orang yang mengembangkan potensi manusiawinya melalui interaksi sosial, tapatnya melalui pengambilan peran orang lain.[6] Patut dicatat bahwa model ini menempatkan sumber dan penerima mempunyai kedudukan yang sederajat. [7] Satu elemen yang penting bagi model interkasional adalah umpan balik (feedback), atau tanggapan terhadap suatu pesan.[1]
Model Transaksional
Model komunikasi transaksional dikembangkan oleh Barnlund pada tahun 1970.[4] Model ini menggarisbawahi pengiriman dan penerimaan pesan yang berlangsung secara terus-menerus dalm sebuah episode komunikasi.[rujukan?] Komunikasi bersifat transaksional adalah proses kooperatif: pengirim dan penerima sama-sama bertanggungjawab terhadap dampak dan efektivitas komunikasi yang terjadi. [1] Model transaksional berasumsi bahwa saat kita terus-menerus mengirimkan dan menerima pesan, kita berurusan baik dengan elemen verbal dan nonverbal. Dengan kata lain, peserta komunikasi (komunikator) melalukan proses negosiasi makna.[3]
Ilmu komunikasi Di Antara Bidang Ilmu Lainnya
Dahulu orang lebih mudah memberikan definisi tentang ilmu daripada sekarang.[rujukan?] Dulu defenisi ilmu bergantung pada sistem filsafat yang dianutnya.[rujukan?] Sekarang ilmu memperoleh posisi yang bebas dan mandiri.[rujukan?] Definisi ilmu tidak lagi berdasarkan dan dilihat dari filsafatnya, melainkan berdasarkan pada apa yang dilaksanakan oleh ilmu tersebut, serta metodologinya. [7]
Berbicara posisi Ilmu Komunikasi di antara ilmu-ilmu lainnya, tidak akan terlepas dari akar atau landasan Ilmu Komunikasi itu sendiri, dimana banyak ilmuwan nonkomunikasi memberikan kontribusi untuk lahirnya Ilmu Komunikasi. [1] Ahli politik Harold D. Lasswell. Sosiolog Max Weber, Daniel Lerner dan Everett M. Rogers.[rujukan?] Psikolog Carl I. Hoveland dan Paul Lazarsfeld. Ahli bahasa Wilbur Schramm. Shannon dan Weaver adalah ahli matematika. [7]

10. Komunikasi nonverbal

Penggunaan ekspresi wajah merupakan salah satu komunikasi nonverbal.
Komunikasi nonverbal adalah proses komunikasi dimana pesan disampaikan tidak menggunakan kata-kata. Contoh komunikasi nonverbal ialah menggunakan gerak isyarat, bahasa tubuh, ekspresi wajah dan kontak mata, penggunaan objek seperti pakaian, potongan rambut, dan sebagainya, simbol-simbol, serta cara berbicara seperti intonasi, penekanan, kualitas suara, gaya emosi, dan gaya berbicara.
Para ahli di bidang komunikasi nonverbal biasanya menggunakan definisi "tidak menggunakan kata" dengan ketat, dan tidak menyamakan komunikasi non-verbal dengan komunikasi nonlisan. Contohnya, bahasa isyarat dan tulisan tidak dianggap sebagai komunikasi nonverbal karena menggunakan kata, sedangkan intonasi dan gaya berbicara tergolong sebagai komunikasi nonverbal. Komunikasi nonverbal juga berbeda dengan komunikasi bawah sadar, yang dapat berupa komunikasi verbal ataupun nonverbal.
Jenis-jenis komunikasi nonverbal
Komunikasi objek
Seorang polisi menggunakan seragam. Ini merupakan salah satu bentuk komunikasi objek.
Komunikasi objek yang paling umum adalah penggunaan pakaian. Orang sering dinilai dari jenis pakaian yang digunakannya, walaupun ini dianggap termasuk salah satu bentuk stereotipe. Misalnya orang sering lebih menyukai orang lain yang cara berpakaiannya menarik. Selain itu, dalam wawancara pekerjaan seseorang yang berpakaian cenderung lebih mudah mendapat pekerjaan daripada yang tidak. Contoh lain dari penggunaan komunikasi objek adalah seragam.
Sentuhan
Haptik adalah bidang yang mempelajari sentuhan sebagai komunikasi nonverbal. Sentuhan dapat termasuk: bersalaman, menggenggam tangan, berciuman, sentuhan di punggung, mengelus-elus, pukulan, dan lain-lain. Masing-masing bentuk komunikasi ini menyampaikan pesan tentang tujuan atau perasaan dari sang penyentuh. Sentuhan juga dapat menyebabkan suatu perasaan pada sang penerima sentuhan, baik positif ataupun negatif.
Kronemik
Kronemik adalah bidang yang mempelajari penggunaan waktu dalam komunikasi nonverbal. Penggunaan waktu dalam komunikasi nonverbal meliputi durasi yang dianggap cocok bagi suatu aktivitas, banyaknya aktivitas yang dianggap patut dilakukan dalam jangka waktu tertentu, serta ketepatan waktu (punctuality).[1]
Gerakan tubuh
Dalam komunikasi nonverbal, kinesik atau gerakan tubuh meliputi kontak mata, ekspresi wajah, isyarat, dan sikap tubuh. Gerakan tubuh biasanya digunakan untuk menggantikan suatu kata atau frase, misalnya mengangguk untuk mengatakan ya; untuk mengilustrasikan atau menjelaskan sesuatu; menunjukkan perasaan, misalnya memukul meja untuk menunjukkan kemarahan; untuk mengatur atau menngendalikan jalannya percakapan; atau untuk melepaskan ketegangan.[2][3]
Proxemik
Proxemik atau bahasa ruang, yaitu jarak yang Anda gunakan ketika berkomunikasi dengan orang lain, termasuk juga tempat atau lokasi posisi Anda berada. Pengaturan jarak menentukan seberapa jauh atau seberapa dekat tingkat keakraban Anda dengan orang lain, menunjukkan seberapa besar penghargaan, suka atau tidak suka dan perhatian Anda terhadap orang lain, selain itu juga menunjukkan simbol sosial. Dalam ruang personal, dapat dibedakan menjadi 4 ruang interpersonal :
• Jarak intim
Jarak dari mulai bersentuhan sampai jarak satu setengah kaki. Biasanya jarak ini untuk bercinta, melindungi, dan menyenangkan.
• Jarak personal
Jarak yang menunjukkan perasaan masing - masing pihak yang berkomunikasi dan juga menunjukkan keakraban dalam suatu hubungan, jarak ini berkisar antara satu setengah kaki sampai empat kaki.
• Jarak sosial
Dalam jarak ini pembicara menyadari betul kehadiran orang lain, karena itu dalam jarak ini pembicara berusaha tidak mengganggu dan menekan orang lain, keberadaannya terlihat dari pengaturan jarak antara empat kaki hingga dua belas kaki.
• Jarak publik
Jarak publik yakni berkisar antara dua belas kaki sampai tak terhingga.[4]
Vokalik
Vokalik atau paralanguage adalah unsur nonverbal dalam suatu ucapan, yaitu cara berbicara. Ilmu yang mempelajari hal ini disebut paralinguistik. Contohnya adalah nada bicara, nada suara, keras atau lemahnya suara, kecepatan berbicara, kualitas suara, intonasi, dan lain-lain. Selain itu, penggunaan suara-suara pengisi seperti "mm", "e", "o", "um", saat berbicara juga tergolong unsur vokalik, dan dalam komunikasi yang baik hal-hal seperti ini harus dihindari.[5]
Lingkungan
Lingkungan juga dapat digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu. Diantaranya adalah penggunaan ruang, jarak, temperatur, penerangan, dan warna.[6]
Variasi budaya dalam komunikasi nonverbal
Budaya asal seseorang amat menentukan bagaimana orang tersebut berkomunikasi secara nonverbal. Perbedaan ini dapat meliputi perbedaan budaya Barat-Timur, budaya konteks tinggi dan konteks rendah, bahasa, dsb. Contohnya, orang dari budaya Oriental cenderung menghindari kontak mata langsung, sedangkan orang Timur Tengah, India dan Amerika Serikat biasanya menganggap kontak mata penting untuk menunjukkan keterpercayaan, dan orang yang menghindari kontak mata dianggap tidak dapat dipercaya.[7]

11. Analisis Pengertian Komunikasi Dan 5 (Lima) Unsur Komunikasi Menurut Harold Lasswell
Sat, 10/11/2007 - 6:54pm — Rejals
Analisis Definisi Komunikasi Menurut Harold Lasswell
Komunikasi pada dasarnya merupakan suatu proses yang menjelaskan siapa? mengatakan apa? dengan saluran apa? kepada siapa? dengan akibat atau hasil apa? (who? says what? in which channel? to whom? with what effect?). (Lasswell 1960).
Analisis 5 unsur menurut Lasswell (1960):
1. Who? (siapa/sumber).
Sumber/komunikator adalah pelaku utama/pihak yang mempunyai kebutuhan untuk berkomunikasi atau yang memulai suatu komunikasi,bisa seorang individu,kelompok,organisasi,maupun suatu negara sebagai komunikator.
2. Says What? (pesan).
Apa yang akan disampaikan/dikomunikasikan kepada penerima(komunikan),dari sumber(komunikator)atau isi informasi.Merupakan seperangkat symbol verbal/non verbal yang mewakili perasaan,nilai,gagasan/maksud sumber tadi. Ada 3 komponen pesan yaitu makna,symbol untuk menyampaikan makna,dan bentuk/organisasi pesan.
3. In Which Channel? (saluran/media).
Wahana/alat untuk menyampaikan pesan dari komunikator(sumber) kepada komunikan(penerima) baik secara langsung(tatap muka),maupun tidak langsung(melalui media cetak/elektronik dll).
4. To Whom? (untuk siapa/penerima).
Orang/kelompok/organisasi/suatu negara yang menerima pesan dari sumber.Disebut tujuan(destination)/pendengar(listener)/khalayak(audience)/komunikan/penafsir/penyandi balik(decoder).
5. With What Effect? (dampak/efek).
Dampak/efek yang terjadi pada komunikan(penerima) setelah menerima pesan dari sumber,seperti perubahan sikap,bertambahnya pengetahuan, dll.
Contoh:
Komunikasi antara guru dengan muridnya.
Guru sebagai komunikator harus memiliki pesan yang jelas yang akan disampaikan kepada murid atau komunikan.Setelah itu guru juga harus menentukan saluran untuk berkomunikasi baik secara langsung(tatap muka) atau tidak langsung(media).Setelah itu guru harus menyesuaikan topic/diri/tema yang sesuai dengan umur si komunikan,juga harus menentukan tujuan komunikasi/maksud dari pesan agar terjadi dampak/effect pada diri komunikan sesuai dengan yang diinginkan.
Kesimpulan:
Komunikasi adalah pesan yang disampaikan kepada komunikan(penerima) dari komunikator(sumber) melalui saluran-saluran tertentu baik secara langsung/tidak langsung dengan maksud memberikan dampak/effect kepada komunikan sesuai dengan yang diingikan komunikator.Yang memenuhi 5 unsur who, says what, in which channel, to whom, with what effect.

12. KOMUNIKASI dalam ORGANISASI
Manusia di dalam kehidupannya harus berkomunikasi, artinya memerlukan orang lain dan membutuhkan kelompok atau masyarakat untuk saling berinteraksi. Hal ini merupakan suatu hakekat bahwa sebagian besar pribadi manusia terbentuk dari hasil integrasi sosial dengan sesama dalam kelompok dan masyarakat. Di dalam kelompok/organisasi itu selalu terdapat bentuk kepemimpinan yang merupakan masalah penting untuk kelangsungan hidup kelompok, yang terdiri dari pemimpin dan bawahan/karyawan. Di antara kedua belah pihak harus ada two-way-communications atau komunikasi dua arah atau komunikasi timbal balik, untuk itu diperlukan adanya kerja sama yang diharapkan untuk mencapai cita-cita, baik cita-cita pribadi, maupun kelompok, untuk mencapai tujuan suatu organisasi. Kerja sama tersebut terdiri dari berbagai maksud yang meliputi hubungan sosial/kebudayaan. Hubungan yang terjadi merupakan suatu proses adanya suatu keinginan masing-masing individu, untuk memperoleh suatu hasil yang nyata dan dapat memberikan manfaat untuk kehidupan yang berkelanjutan.
Hubungan yang dilakukan oleh unsur pimpinan antara lain kelangsungan hidup berorganisasi untuk mencapai perkembangan ke arah yang lebih baik dengan menciptakan hubungan kerja sama dengan bawahannya. Hubungan yang dilakukan oleh bawahan sudah tentu mengandung maksud untuk mendapatkan simpati dari pimpinan yang merupakan motivasi untuk meningkatkan prestasi kerja ke arah yang lebih baik. Hal ini tergantung dari kebutuhan dan cara masing-masing individu, karena satu sama lain erat hubungannya dengan keahlian dan tugas-tugas yang harus dilaksanakan.
Bila sasaran komunikasi dapat diterapkan dalam suatu organisasi baik organisasi pemerintah, organisasi kemasyarakatan, maupun organisasi perusahaan, maka sasaran yang dituju pun akan beraneka ragam, tapi tujuan utamanya tentulah untuk mempersatukan individu-individu yang tergabung dalam organisasi tersebut.
Berdasarkan sifat komunikasi dan jumlah komunikasi menurut Onong Uchyana Effendi, dalam bukunya “Dimensi-Dimensi Komunikasi” hal. 50, komunikasi dapat digolongkan ke dalam tiga kategori:
1. Komunikasi antar pribadi
Komunikasi ini penerapannya antara pribadi/individu dalam usaha menyampaikan informasi yang dimaksudkan untuk mencapai kesamaan pengertian, sehingga dengan demikian dapat tercapai keinginan bersama.
2. Komunikasi kelompok
Pada prinsipnya dalam melakukan suatu komunikasi yang ditekankan adalah faktor kelompok, sehingga komunikasi menjadi lebih luas. Dalam usaha menyampaikan informasi, komunikasi dalam kelompok tidak seperti komunikasi antar pribadi.
3. Komunikasi massa
Komunikasi massa dilakukan dengan melalui alat, yaitu media massa yang meliputi cetak dan elektronik.

13. GANGGUAN DEPRESI BERAT
Depresi bisa berdiri sendiri maupun bersamaan dengan penyakit organik. Depresi akan sulit di diagnosis jika depresi ditemukan bersamaan dengan penyakit lain.
Banyak gangguan medis dan neurologis serta agen farmakologis dapat menghasilkan gejala depresi. Biasanya pasien datang dengan gangguan depresi pertama kali pergi ke dokter umum dengan keluhan somatik, mereka mengeluh gangguan sistem endokrin, gangguan infeksi dan peradangan, serta penyakit medis lain seperti kanker dan penyakit kardiopulmonal.
Baik depresi yang berdiri sendiri maupun yang bersamaan dengan penyakit lain harus diobati dengan sungguh-sungguh, karena depresi dapat mempengaruhi dan memperburuk penyakit organik yang sudah ada.
Pemilihan obat anti depresan yang tepat sangat diperlukan agar mendapatkan efek terapi yang optimal dan menghindari efek samping yang mungkin timbul.
DEFINISI (2)
Gangguan depresif merupakan suatu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dengan gejala penyerta termasuk perubahan pola tidur, nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa, tak berdaya dan gagasan bunuh diri.
EPIDEMIOLOGI
Gangguan depresi berat adalah suatu gangguan yang sering terjadi, dengan prevalensi seumur hidup kira-kira 15 % dan kemungkinan sekitar 25 % terjadi pada wanita.
Terlepas dari kultur atau negara, prevalensi gangguan depresi berat dua kali lebih besar pada wanita dibandingkan laki-laki. Rata-rata usia onset untuk gangguan depresi berat kira-kira 40 tahun, 50 % dari semua pasien mempunyai onset antara 20 dan 50 tahun.
Beberapa data epidemiologi baru-baru ini menyatakan bahwa insidensi gangguan depresi berat mungkin meningkat pada orang-orang yang berusia kurang dari 20 tahun. Jika pengamatan tersebut benar, mungkin berhubungan dengan meningkatnya penggunaan alkohol dan zat-zat lain pada kelompok usia tersebut.
Pada umumnya gangguan depresi berat terjadi paling sering pada orang tua yang tidak memiliki hubungan interpersonal yang erat atau berpisah.
ETIOLOGI
Dasar umum untuk gangguan depresi berat tidak diketahui, tetapi diduga faktor-faktor dibawah ini berperan :
Faktor Biologis
Data yang dilaporkan paling konsisten dengan hipotesis bahwa gangguan depresi berat adalah berhubungan dengan disregulasi pada amin biogenik (norepineprin dan serotonin). Penurunan serotonin dapat mencetuskan depresi dan pada beberapa pasien yang bunuh diri memiliki konsentrasi metabolik serotonin di dalam cairan serebrospinal yang rendah serta konsentrasi tempat ambilan serotonin yang rendah di trombosit.
Faktor neurokimiawi lain seperti adenylate cyclase, phospotidylinositol dan regulasi kalsium mungkin juga memiliki relevansi penyebab. Kelainan pada neuroendokrin utama yang menarik perhatian dalam adalah sumbu adrenal, tiroid dan hormon pertumbuhan. Neuroendokrin yang lain yakni penurunan sekresi nokturnal melantonin, penurunan pelepasan prolaktin karena pemberian tryptopan, penurunan kadar dasar folikel stimulating hormon (FSH), luteinizing hormon (LH) dan penurunan kadar testoteron pada laki-laki.
Faktor Genetika
Data genetik menyatakan bahwa sanak saudara derajat pertama dari penderita gangguan depresi berat kemungkinan 1,5 sampai 2,5 kali lebih besar daripada sanak saudara derajat pertama subyek kontrol untuk penderita gangguan.
Penelitian terhadap anak kembar menunjukkan angka kesesuaian pada kembar monozigotik adalah kira-kira 50 %, sedangkan pada kembar dizigotik mencapai 10 sampai 25 %.
Faktor psikososial
Peristiwa kehidupan dan stress lingkungan, suatu pengamatan klinis yang telah lama direplikasi bahwa peristiwa kehidupan yang menyebabkan stress lebih sering mendahului episode pertama gangguan mood daripada episode selanjutnya, hubungan tersebut telah dilaporkan untuk pasien dengan gangguan depresi berat.
Data yang paling mendukung menyatakan bahwa peristiwa kehidupan paling berhubungan dengan perkembangan depresi selanjutnya adalah kehilangan orang tua sebelum usia 11 tahun. Stressor lingkungan yang paling berhubungan dengan onset satu episode depresi adalah kehilangan pasangan.
Beberapa artikel teoritik dan dari banyak laporan, mempermasalahkan hubungan fungsi keluarga dan onset dalam perjalanan gangguan depresi berat. Selain itu, derajat psikopatologi didalam keluarga mungkin mempengaruhi kecepatan pemulihan, kembalinya gejala dan penyesuaian pasca pemulihan.
PATOFISIOLOGI
Timbulnya depresi dihubungkan dengan peran beberapa neurotransmiter aminergik. Neurotransmiter yang paling banyak diteliti ialah serotonin. Konduksi impuls dapat terganggu apabila terjadi kelebihan atau kekurangan neurotransmiter di celah sinaps atau adanya gangguan sensitivitas pada reseptor neurotransmiter tersebut di post sinaps sistem saraf pusat.
Pada depresi telah di identifikasi 2 sub tipe reseptor utama serotonin yaitu reseptor 5HTIA dan 5HT2A. Kedua reseptor inilah yang terlibat dalam mekanisme biokimiawi depresi dan memberikan respon pada semua golongan anti depresan.
Pada penelitian dibuktikan bahwa terjadinya depresi disebabkan karena menurunnya pelepasan dan transmisi serotonin (menurunnya kemampuan neurotransmisi serotogenik).
Beberapa peneliti menemukan bahwa selain serotonin terdapat pula sejumlah neurotransmiter lain yang berperan pada timbulnya depresi yaitu norepinefrin, asetilkolin dan dopamin. Sehingga depresi terjadi jika terdapat defisiensi relatif satu atau beberapa neurotransmiter aminergik pada sinaps neuron di otak, terutama pada sistem limbik. Oleh karena itu teori biokimia depresi dapat diterangkan sebagai berikut :
1. Menurunnya pelepasan dan transport serotonin atau menurunnya kemampuan neurotransmisi serotogenik.
2. Menurunnya pelepasan atau produksi epinefrin, terganggunya regulasi aktivitas norepinefrin dan meningkatnya aktivitas alfa 2 adrenoreseptor presinaptik.
3. Menurunnya aktivitas dopamin.
4. Meningkatnya aktivitas asetilkolin.
Teori yang klasik tentang patofisiologi depresi ialah menurunnya neurotransmisi akibat kekurangan neurotransmitter di celah sinaps. Ini didukung oleh bukti-bukti klinis yang menunjukkan adanya perbaikan depresi pada pemberian obat-obat golongan SSRI (Selective Serotonin Re-uptake Inhibitor) dan trisiklik yang menghambat re-uptake dari neurotransmiter atau pemberian obat MAOI (Mono Amine Oxidasi Inhibitor) yang menghambat katabolisme neurotransmiter oleh enzim monoamin oksidase.
Belakangan ini dikemukakan juga hipotesis lain mengenai depresi yang menyebutkan bahwa terjadinya depresi disebabkan karena adanya aktivitas neurotransmisi serotogenik yang berlebihan dan bukan hanya kekurangan atau kelebihan serotonin semata. Neurotransmisi yang berlebih ini mengakibatkan gangguan pada sistem serotonergik, jadi depresi timbul karena dijumpai gangguan pada sistem serotogenik yang tidak stabil. Hipotesis yang belakangan ini dibuktikan dengan pemberian anti depresan golongan SSRE (Selective Serotonin Re-uptake Enhancer) yang justru mempercepat re-uptake serotonin dan bukan menghambat. Dengan demikian maka turn over dari serotonin menjadi lebih cepat dan sistem neurotransmisi menjadi lebih stabil yang pada gilirannya memperbaiki gejala-gejala depresi.
Mekanisme biokimiawi yang sudah diketahui tersebut menjadi dasar penggunaan dan pengembangan obat-obat anti depresan.
GAMBARAN KLINIS
Suatu mood depresif, kehilangan minat dan kegembiraan serta berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktivitas merupakan tiga gejala utama depresi.
Gejala lainnya dapat berupa :
q Konsentrasi dan perhatian berkurang
q Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
q Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
q Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
q Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
q Tidur terganggu
q Nafsu makan berkurang.
Gejala-gejala diatas dialami oleh pasien hampir setiap hari dan di nilai berdasarkan ungkapan pribadi atau hasil pengamatan orang lain misalnya keluarga pasien.
VII. PEDOMAN DIAGNOSTIK (3)
Seperti dalam DSM III dan DSM IV atau PPDGJ III, kriteria diagnostik untuk gangguan depresi berat secara terpisah dari kriteria diagnostik untuk diagnosis yang berhubungan dengan depresi ringan dan sedang serta depresi berulang.
Pada PPDGJ III pedoman diagnostik gangguan depresi berat dibagi secara terpisah yaitu gangguan depresi berat tanpa gejala psikotik dan gangguan depresi berat dengan gejala psikotik.
Episode depresif berat tanpa gejala psikotik :
v Semua gejala depresi harus ada : afek depresif, kehilangan minat dan kegembiraan serta berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah.
v Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya : konsentrasi dan perhatian berkurang, harga diri dan kepercayaan diri berkurang, gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna, pandangan masa depan yang suram dan pesimis, gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri, tidur terganggu, nafsu makan berkurang.
v Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi psikomotor) yang mencolok, maka mungkin pasien tidak mau atau tidak mampu untuk melaporkan banyak gejalanya secara rinci. Dalam hal demikian, penilaian secara menyeluruh terhadap episode depresif berat masih dapat dibenarkan.
v Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu, akan tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat, maka masih dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam kurun waktu dari 2 minggu.
v Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat terbatas.
Episode Depresif Berat dengan Gejala Psikotik :
v Episode depresif berat yang memenuhi kriteria diatas.
v Disertai waham, halusinasi atau stupor depresif. Waham biasanya melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang mengancam dan pasien merasa bertanggung jawab atas hal itu. Halusinasi audiotorik atau olfaktorik biasanya berupa suara yang menghina atau menuduh atau bau kotoran atau daging membusuk. Retardasi psikomotor yang berat dapat menuju stupor.
v Jika diperlukan, waham atau halusinasi dapat ditentukan sebagai waham atau halusinasi yang serasi atau tidak serasi dengan afek (mood congruent).
DIAGNOSIS BANDING
Dalam menegakkan suatu gangguan depresi, diagnosis lain perlu dipikirkan seperti adanya gangguan organik, intoksikasi atau ketergantungan zat dan abstinensia, distimia, siklotimia, gangguan kepribadian, berkabung serta gangguan penyesuaian.
Perubahan instrinsik yang berhubungan dengan epilepsi lobus temporalis dapat menyerupai gangguan depresi, khususnya jika fokus epileptik adalah pada sisi kanan.
Berkabung merupakan suatu respons normal yang hebat dan menyakitkan karena kehilangan, tetapi responsif terhadap dukungan dan empati dapat membuat berangsur mereda/sembuh seiring berjalannya waktu.
PENATALAKSANAAN
Bila diagnosa depresi sudah dibuat, maka perlu dinilai taraf hebatnya gejala depresi dan besarnya kemungkinan bunuh diri. Hal ini ditanyakan dengan bijkasana dan penderita sering merasa lega bila ia dapat mengeluarkan pikiran-pikiran bunuh diri kepada orang yang memahami masalahnya, tetapi pada beberapa penderita ada yang tidak memberitahukan keinginan bunuh dirinya kepada pemeriksa karena takut di cegah. Bila sering terdapat pikiran-pikiran atau rancangan bunuh diri, maka sebaiknya penderita dirawat di rumah sakit dengan pemberian terapi elektrokonvulsi di samping psikoterapi dan obat anti depresan.
Sebagian besar klinisi dan peneliti percaya bahwa kombinasi psikoterapi dan farmakoterapi adalah pengobatan yang paling efektif untuk gangguan depresi berat. Tiga jenis psikoterapi jangka pendek yaitu terapi kognitif, terapi interpersonal dan terapi perilaku, telah diteliti tentang manfaatnya di dalam pengobatan gangguan depresi berat.
Pada farmakoterapi digunakan obat anti depresan, dimana anti depresan dibagi dalam beberapa golongan yaitu :
1. Golongan trisiklik, seperti : amitryptylin, imipramine, clomipramine dan opipramol.
2. Golongan tetrasiklik, seperti : maproptiline, mianserin dan amoxapine.
3. Golongan MAOI-Reversibel (RIMA, Reversibel Inhibitor of Mono Amine Oxsidase-A), seperti : moclobemide.
4. Golongan atipikal, seperti : trazodone, tianeptine dan mirtazepine.
5. Golongan SSRI (Selective Serotonin Re-Uptake Inhibitor), seperti : sertraline, paroxetine, fluvoxamine, fluxetine dan citalopram.
Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan onset efek primer (efek klinis) sekitar 2-4 minggu, efek sekunder (efek samping) sekitar 12-24 jam serta waktu paruh sekitar 12-48 jam (pemberian 1-2 kali perhari). Ada lima proses dalam pengaturan dosis, yaitu :
1. Initiating Dosage (dosis anjuran), untuk mencapai dosis anjuran selama minggu I. Misalnya amytriptylin 25 mg/hari pada hari I dan II, 50 mg/hari pada hari III dan IV, 100 mg/hari pada hari V dan VI.
2. Titrating Dosage (dosis optimal), dimulai pada dosis anjuran sampai dosis efektif kemudian menjadi dosis optimal. Misalnya amytriptylin 150 mg/hari selama 7 sampai 15 hari (miggu II), kemudian minggu III 200 mg/hari dan minggu IV 300 mg/hari.
3. Stabilizing Dosage (dosis stabil), dosis optimal dipertahankan selama 2-3 bulan. Misalnya amytriptylin 300 mg/hari (dosis optimal) kemudian diturunkan sampai dosis pemeliharaan.
4. Maintining Dosage (dosis pemeliharaan), selama 3-6 bulan. Biasanya dosis pemeliharaan ½ dosis optimal. Misalnya amytriptylin 150 mg/hari.
5. Tapering Dosage (dosis penurunan), selama 1 bulan. Kebalikan dari initiating dosage. Misalnya amytriptylin 150 mg/hari à 100 mg/hari selama 1 minggu, 100 mg/hari à 75 mg/hari selama 1 minggu, 75 mg/hari à 50 mg/hari selama 1 minggu, 50 mg/hari à 25 mg/hari selama 1 minggu.
Dengan demikian obat anti depresan dapat diberhentikan total. Kalau kemudian sindrom depresi kambuh lagi, proses dimulai lagi dari awal dan seterusnya.
Pada dosis pemeliharaan dianjurkan dosis tunggal pada malam hari (single dose one hour before sleep), untuk golongan trisiklik dan tetrasiklik. Untuk golongan SSRI diberikan dosis tunggal pada pagi hari setelah sarapan.
PROGNOSIS
Gangguan depresi berat bukan merupakan gangguan yang ringan. Keadaan ini cenderung merupakan gangguan yang kronis dan pasien cenderung mengalami relaps. Pasien yang dirawat di rumah sakit untuk episode pertama gangguan depresif memiliki kemungkinan 50 % untuk pulih di dalam tahun pertama.
Rekurensi episode depresi berat juga sering, kira-kira 30 sampai 50 % dalam dua tahun pertama dan kira-kira 50 sampai 70 % dalam 5 tahun. Insidensi relaps adalah jauh lebih rendah dari pada angka tersebut pada pasien yang meneruskan terapi psikofarmakologis profilaksis dan pada pasien yang hanya mengalami satu atau dua episode depresi.
KESIMPULAN
Gangguan depresi berat merupakan suatu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada psikomotor, kemampuan kognitif, pembicaraan dan fungsi vegetatif.
Penyebab dari gangguan depresi terdiri dari faktor biologis, faktor genetika dan faktor psikososial. Pada hipotesis timbulnya depresi dihubungkan dengan peran beberapa neurotransmiter aminergik. Hipotesis tersebut menjadi dasar penggunaan dan pengembangan obat-obat anti depresan.
Untuk menegakkan diagnosis gangguan depresi berat, PPDGJ III mensyarati harus didapati tiga gejala utama gangguan depresi dan minimal empat gejala lainnya dan beberapa di antaranya harus berintensitas berat.
Pada gangguan depresi yang sering terdapat pikiran-pikiran atau rancangan bunuh diri, maka sebaiknya penderita dirawat di rumah sakit dengan pemberian terapi elektrokonvulsi di samping psikoterapi dan obat anti depresan.
Pemberian anti depresan diberikan melalui tahapan-tahapan, yaitu dosis initial, titrasi, stabilisasi, maintenance dan dosis tapering. Dimana dosis dan lama pemberiannya berbeda-beda.
Kombinasi psikoterapi dan farmakoterapi adalah pengobatan yang paling efektif untuk gangguan depresi berat.

14. Mengatasi Kecemasan
JAKARTA, KOMPAS.com - Seorang mahasiswa S2, koordinator kelas, sebutlah namanya Christin, membuat teman-teman sekelasnya terheran-heran. Pasalnya, Christin yang aktif, senang bercanda, dan memiliki postur tubuh bak atlet itu ternyata memiliki kecemasan yang irasional, hanya karena mendengar kata “kecoak”.

Dengan muka tegang ia sibuk menutup telinga dengan saputangan tebal ketika teman-temannya bicara tentang kecoak. Ironis kedengarannya. Kenyataannya, keadaan seperti ini benar-benar dialami oleh sebagian dari kita, meski dengan intensitas dan objek yang berbeda-beda.

Kecemasan merupakan salah satu bentuk emosi negatif. Baik bersifat rasional maupun irasional ini merupakan persoalan tersendiri bagi yang mengalaminya. Oleh sebab itu, kita perlu memiliki keterampilan untuk mengatasinya.

Apa itu Kecemasan?
Perihal rasa cemas, semua orang mengetahui dan pernah merasakannya. Namun, untuk menjelaskan apa itu kecemasan kita mungkin memiliki jawaban yang berbeda-beda.

Dalam Psikologi, ada yang menjelaskan bahwa kecemasan merupakan ketakutan yang tidak realistis, suatu perasaan terancam ketika merespon sesuatu yang sebenarnya tidak sungguh-sungguh mengancam. Ini berbeda dengan ketakutan, yang bersifat realistis, benar-benar karena sesuatu yang menakutkan.

Untuk menghindari pengertian antara cemas dan takut (juga dengan nervous dan tegang) yang pada dasarnya tidak terlalu jelas perbedaannya, kita dapat berpegang pada penjelasan yang diberikan Calhoun & Acocella (1990). Menurut mereka, kecemasan merupakan suatu perasaan takut (realistis maupun tidak), disertai peningkatan gejolak fisiologis.

Bagaimana kecemasan berkembang, khususnya yang tidak realistis?
Sigmun Freud dengan teori psikodinamikanya menjelaskan, kecemasan yang tidak realistis (seperti halnya kecemasan karena kecoak), merupakan gejala dari rasa takut yang lebih mendalam. Biasanya berhubungan dengan alam bawah sadar yang berkaitan dengan dorongan seksual atau agresif, yang menerobos kontrol ego menuntut pemuasan, dan akhirnya menimbulkan ketakutan luar biasa pada diri individu.

Lain halnya penjelasan dari aliran perilaku (behaviorism) dengan tokoh-tokoh Watson, Skinner, dll. Kecemasan yang realistis maupun yang tidak realistis menurut mereka merupakan hasil pengondisian respon.

Contohnya, seorang anak mengenal kecoak bersamaan dengan peristiwa lain yang mengerikan (misalnya ia terkunci di kamar mandi dan menemukan gerombolan kecoak di saluran pembuangan). Hasilnya, ia mempelajari dan merespon kecoak sebagai makhluk yang mengerikan. Hal ini dapat terbawa hingga dewasa.
Kecemasan mempunyai tiga komponen, yaitu emosional, kognitif, dan fisiologis. Dalam komponen emosional, individu mengalami perasaan takut yang intens dan disadari. Dalam komponen kognitif, peningkatan rasa takut akan mengacaukan kemampuan individu untuk berpikir jernih.

Dalam komponen fisiologis, tubuh merespon ketakutan dengan memobilisasi diri untuk bertindak, baik dikehendaki ataupun tidak. Respon fisiologis ini merupakan hasil kerja sistem saraf otonom yang mengendalikan berbagai otot dan kelenjar tubuh.

Respon fisiologis ketika terjadi kecemasan antara lain detak jantung meningkat, irama napas lebih cepat, pupil mata melebar, proses pencernaan terhenti, pembuluh darah menyempit, tekanan darah naik, kelenjar adrenalin dalam darah meningkat. Itu semua menyebabkan individu menjadi tegang dan siap melakukan tindakan menyerang atau melarikan diri dari situasi yang ada.

Kecemasan, bila terjadi dalam level sedang dan dalam keadaan memang ada hal yang harus ditakuti (misalnya sedang menghadapi wawancara kerja), merupakan hal normal. Akan menjadi masalah bila kecemasan terlalu tinggi dan tidak sesuai dengan situasi yang ada (tidak realistis).

Kecemasan semacam ini akan memerosotkan sumber daya fisik dan fisiologis kita. Lebih jauh lagi, dapat mengurangi rasa berharga, merasa kecil, dan tidak berdaya.

Menganalisis Kecemasan
Pola kecemasan berbeda-beda antara orang yang satu dengan yang lain. Perbedaan itu antara lain dalam hal penyebab yang memicu kecemasan (anteseden), keadaan cemas itu sendiri (tingkat kecemasan, gejala), dan konsekuensi yang ada setelah terjadi kecemasan.

Untuk mengendalikan kecemasan, terlebih dahulu kita perlu melakukan analisis terhadap kecemasan tersebut.
Pertama, kita tentukan apa yang membuat kita cemas: Karena melihat kecoak? Karena harus mengalahkan orang lain dalam suatu hal (kompetisi)? Atau karena menghadapi soal-soal ujian?
Bila kecemasan itu karena kecoak, perlu dipastikan apakah bulunya yang membuat cemas? Atau baunya?
Dalam situasi seperti apa kecemasan terhadap kecoak itu muncul: Kalau melihat? Kalau mendengar kata kecoak? Kalau melihat di kamar? Hanya kalau malam atau sembarang waktu?

Kedua, kita menentukan penyebab internal (dari dalam diri), yakni dengan memeriksa kecemasan itu sendiri: Apakah yang kita pikirkan dan kita rasakan saat terjadi pengalaman kecemasan itu?
Bila kecemasan karena kecoak, perlu diperiksa: Apakah bayangan kecoak bergerombol muncul kembali setiap kali melihat kecoak? Apakah kecoak itu membangkitkan rasa muak yang luar biasa? Ataukah kecoak mengingatkan pada peristiwa mengerikan?

Ketiga, kita mendeskripsikan konsekuensi dari kecemasan itu. Apa yang kita lakukan dengan mengalami kecemasan? Bila cemas karena kecoak, perlu dideskripsikan respon apa yang terjadi setelah timbul kecemasan: Apakah kita lari, bersembunyi, atau menghindar? Seperti apa akibatnya terhadap tubuh, terhadap perasaan, dan terhadap pikiran (kognisi)?

Mengelola Kecemasan
Setelah melakukan analisis, kita dapat menentukan tindakan apa yang perlu dilakukan untuk mengatasinya.
- Perencanaan lingkungan
Berbagai stimulus (objek, orang, situasi) yang membuat kita mengalami kecemasan bukanlah hal yang harus kita hadapi. Kita berhak menghindari stimulus-stimulus tersebut.

Contohnya, film horor bukanlah sesuatu yang harus kita tonton. Bila kita cemas/takut, kita dapat menghindari dengan tidak menontonnya. Bila takut kecoak, kita dapat menghindarinya di rumah dengan cara membasminya. Di luar rumah, kita dapat menghindari kecoak dengan cara sebisanya menghindari tempat-tempat yang berpotensi menjadi sarang kecoak.

Namun, tidak semua stimulus yang membuat cemas dapat kita hindari begitu saja. Contohnya, kecemasan tinggi yang terjadi setiap kali mau ujian, berbahaya bila kita atasi dengan menghindari ujian. Untuk itu kita perlu mengatur agar kecemasan sewaktu ujian dapat berkurang dengan cara belajar sampai tuntas dsb. Kalau kita cemas setiap kali orangtua bertengkar, tentu saja kita tidak cukup hanya menghindari orangtua kita. Kita berhak meminta mereka tidak bertengkar, mengatasi konflik dengan cara dialog yang baik.

Pendek kata, menghindar merupakan cara yang paling umum dipilih dalam perencanaan lingkungan. Namun, cara menghindarinya perlu kita pikirkan, agar hal lain yang lebih penting tidak dikorbankan.

- Relabeling dan self-talk
Bila kita tidak dapat mengindari stimulus yang membuat kita cemas, cara lain yang dapat dilakukan adalah mengurangi pemicu internal, yakni di dalam diri kita sendiri. Biasanya berupa pikiran dan ungkapan-ungkapan negatif yang diikuti dengan emosi negatif.

Bila kita selalu cemas saat menghadapi ujian, mungkin itu karena kita dalam hati berpikir tentang kemungkinan gagal, tentang soal-soal yang tidak dapat dijawab. Oleh sebab itu, kita perlu mengganti dengan keyakinan dan perkataan positif terhadap diri sendiri, “Mungkin tidak mudah, tetapi aku akan dapat mengerjakan soal-soal ujian dengan baik setelah aku belajar sungguh-sungguh.”

Dalam kasus kecemasan terhadap kecoak, bila semula kita menganggap kecoak sebagai monster yang mengerikan, ganti dengan pikiran bahwa kecoak hanya seekor serangga yang tidak berbahaya. Kita dapat mengatakan pada diri sendiri, “Aku pasti dapat menghadapi kecoak karena nyatanya kecoak hanyalah serangga yang tidak berbahaya seperti jangkrik.”

Kita tidak perlu menyatakan sesuatu yang terlalu optimistis, cukup yang realistis. Relabeling dan self-talk ini dapat menghambat respon cemas yang biasanya terjadi secara otomatis.

- Desensitisasi
Respon cemas sedapat mungkin harus diubah agar kita tidak lagi mengalami emosi negatif bila mendapat provokasi stimulus yang membuat cemas. Cara yang sangat efektif adalah desensitisasi. Desensitisasi terdiri dari dua langkah: rileksasi dan secara bertahap mengalami stimulus yang membuat cemas.

Rileksasi dilakukan dengan cara melemaskan seluruh otot tubuh, mulai dari kepala hingga ujung kaki. Latihan ini untuk setiap bagian tubuh disertai mengatur pernapasan perut (napas panjang). Pernapasan panjang dimulai terlebih dahulu sebelum melemaskan bagian-bagian otot tubuh.

Setelah dicapai keadaan rileks, selanjutnya mulai berlatih menghadapi stimulus yang membuat kita cemas. Hal ini dapat dengan cara membayangkan (dapat dilakukan dengan gambar) maupun sungguh-sungguh menghadapinya. Tampilan stimulus, misalnya kecoak, diperlihatkan dalam keadaan yang paling tidak mencemaskan (misalnya hanya tampak sedikit sayapnya di balik bunga).

Setelah berhasil, secara bertahap stimulus ditampilkan dalam keadaan yang sedikit mencemaskan, misalnya satu sisi sayap kecoak tampak di balik bunga). Demikian seterusnya.

Kombinasi rileksasi dan latihan menghadapi stimulus ini dilakukan hingga seseorang benar-benar tidak lagi cemas menghadapi stimulus itu apa adanya.

15. Teori Kecemasan
Kecemasan adalah ketegangan, rasa tidak aman dan kekawatiran yang timbul karena dirasakan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan tetapi sumbernya sebagian besar tidak diketahui dan berasal dari dalam (DepKes RI, 1990).
Kecemasan dapat didefininisikan suatu keadaan perasaan keprihatinan, rasa gelisah, ketidak tentuan, atau takut dari kenyataan atau persepsi ancaman sumber aktual yang tidak diketahui atau dikenal (Stuart and Sundeens, 1998).
Kecemasan adalah suatu keadaan yang ditandai dengan perasaan ketakutan yang disertai dengan tanda somatik yang menyatakan terjadinya hiperaktifitas sistem syaraf otonom. Kecemasan adalah gejala yang tidak spesifik yang sering ditemukan dan sering kali merupakan suatu emosi yang normal (Kusuma W, 1997).
Kecemasan adalah respon terhadap suatu ancaman yang sumbernya tidak diketahui, internal, samar-samar atau konfliktual (Kaplan, Sadock, 1997).
Teori Kecemasan
Kecemasan merupakan suatu respon terhadap situasi yang penuh dengan tekanan. Stres dapat didefinisikan sebagai suatu persepsi ancaman terhadap suatu harapan yang mencetuskan cemas. Hasilnya adalah bekerja untuk melegakan tingkah laku (Rawlins, at al, 1993). Stress dapat berbentuk psikologis, sosial atau fisik. Beberapa teori memberikan kontribusi terhadap kemungkinan faktor etiologi dalam pengembangan kecemasan. Teori-teori tersebut adalah sebagai berikut :
a. Teori Psikodinamik
Freud (1993) mengungkapkan bahwa kecemasan merupakan hasil dari konflik psikis yang tidak disadari. Kecemasan menjadi tanda terhadap ego untuk mengambil aksi penurunan cemas. Ketika mekanisme diri berhasil, kecemasan menurun dan rasa aman datang lagi. Namun bila konflik terus berkepanjangan, maka kecemasan ada pada tingkat tinggi. Mekanisme pertahanan diri dialami sebagai simptom, seperti phobia, regresi dan tingkah laku ritualistik. Konsep psikodinamik menurut Freud ini juga menerangkan bahwa kecemasan timbul pertama dalam hidup manusia saat lahir dan merasakan lapar yang pertama kali. Saat itu dalam kondisi masih lemah, sehingga belum mampu memberikan respon terhadap kedinginan dan kelaparan, maka lahirlah kecemasan pertama. Kecemasan berikutnya muncul apabila ada suatu keinginan dari Id untuk menuntut pelepasan dari ego, tetapi tidak mendapat restu dari super ego, maka terjadilah konflik dalam ego, antara keinginan Id yang ingin pelepasan dan sangsi dari super ego lahirlah kecemasan yang kedua. Konflik-konflik tersebut ditekan dalam alam bawah sadar, dengan potensi yang tetap tak terpengaruh oleh waktu, sering tidak realistik dan dibesar-besarkan. Tekanan ini akan muncul ke permukaan melalui tiga peristiwa, yaitu : sensor super ego menurun, desakan Id meningkat dan adanya stress psikososial, maka lahirlah kecemasan-kecemasan berikutnya (Prawirohusodo, 1988).
b. Teori Perilaku
Menurut teori perilaku, Kecemasan berasal dari suatu respon terhadap stimulus khusus (fakta), waktu cukup lama, seseorang mengembangkan respon kondisi untuk stimulus yang penting. Kecemasan tersebut merupakan hasil frustasi, sehingga akan mengganggu kemampuan individu untuk mencapai tujuan yang di inginkan.
c. Teori Interpersonal
Menjelaskan bahwa kecemasan terjadi dari ketakutan akan penolakan antar individu, sehingga menyebabkan individu bersangkutan merasa tidak berharga.
d Teori Keluarga
Menjelaskan bahwa kecemasan dapat terjadi dan timbul secara nyata akibat adanya konflik dalam keluarga.
e. Teori Biologik
Beberapa kasus kecemasan (5 - 42%), merupakan suatu perhatian terhadap proses fisiologis (Hall, 1980). Kecemasan ini dapat disebabkan oleh penyakit fisik atau keabnormalan, tidak oleh konflik emosional. Kecemasan ini termasuk kecemasan sekunder (Rockwell cit stuart & sundeens, 1998).

Faktor Predisposisi Kecemasan
Setiap perubahan dalam kehidupan atau peristiwa kehidupan yang dapat menimbulkan keadaan stres disebut stresor. Stres yang dialami seseorang dapat menimbulkan kecemasan, atau kecemasan merupakan manifestasi langsung dari stres kehidupan dan sangat erat kaitannya dengan pola hidup (Wibisono, 1990).
Berbagai faktor predisposisi yang dapat menimbulkan kecemasan (Roan, 1989) yaitu faktor genetik, faktor organik dan faktor psikologi. Pada pasien yang akan menjalani operasi, faktor predisposisi kecemasan yang sangat berpengaruh adalah faktor psikologis, terutama ketidak pastian tentang prosedur dan operasi yang akan dijalani.

Gejala Kecemasan
Penderita yang mengalami kecemasan biasanya memiliki gejala-gejala yang khas dan terbagi dalam beberapa fase, yaitu :
a. Fase 1
Keadan fisik sebagaimana pada fase reaksi peringatan, maka tubuh mempersiapkan diri untuk fight (berjuang), atau flight (lari secepat-cepatnya). Pada fase ini tubuh merasakan tidak enak sebagai akibat dari peningkatan sekresi hormon adrenalin dan nor adrenalin.
Oleh karena itu, maka gejala adanya kecemasan dapat berupa rasa tegang di otot dan kelelahan, terutama di otot-otot dada, leher dan punggung. Dalam persiapannya untuk berjuang, menyebabkan otot akan menjadi lebih kaku dan akibatnya akan menimbulkan nyeri dan spasme di otot dada, leher dan punggung. Ketegangan dari kelompok agonis dan antagonis akan menimbulkan tremor dan gemetar yang dengan mudah dapat dilihat pada jari-jari tangan (Wilkie, 1985). Pada fase ini kecemasan merupakan mekanisme peningkatan dari sistem syaraf yang mengingatkan kita bahwa system syaraf fungsinya mulai gagal mengolah informasi yang ada secara benar (Asdie, 1988).
b. Fase 2 (dua)
Disamping gejala klinis seperti pada fase satu, seperti gelisah, ketegangan otot, gangguan tidur dan keluhan perut, penderita juga mulai tidak bisa mengontrol emosinya dan tidak ada motifasi diri (Wilkie, 1985).
Labilitas emosi dapat bermanifestasi mudah menangis tanpa sebab, yang beberapa saat kemudian menjadi tertawa. Mudah menangis yang berkaitan dengan stres mudah diketahui. Akan tetapi kadang-kadang dari cara tertawa yang agak keras dapat menunjukkan tanda adanya gangguan kecemasan fase dua (Asdie, 1988). Kehilangan motivasi diri bisa terlihat pada keadaan seperti seseorang yang menjatuhkan barang ke tanah, kemudian ia berdiam diri saja beberapa lama dengan hanya melihat barang yang jatuh tanpa berbuat sesuatu (Asdie, 1988).
c. Fase 3
Keadaan kecemasan fase satu dan dua yang tidak teratasi sedangkan stresor tetap saja berlanjut, penderita akan jatuh kedalam kecemasan fase tiga. Berbeda dengan gejala-gejala yang terlihat pada fase satu dan dua yang mudah di identifikasi kaitannya dengan stres, gejala kecemasan pada fase tiga umumnya berupa perubahan dalam tingkah laku dan umumnya tidak mudah terlihat kaitannya dengan stres. Pada fase tiga ini dapat terlihat gejala seperti : intoleransi dengan rangsang sensoris, kehilangan kemampuan toleransi terhadap sesuatu yang sebelumnya telah mampu ia tolerir, gangguan reaksi terhadap sesuatu yang sepintas terlihat sebagai gangguan kepribadian (Asdie, 1988).
Klasifikasi Tingkat Kecemasan
Ada empat tingkat kecemasan, yaitu ringan, sedang, berat dan panik (Townsend, 1996).
1. Kecemasan ringan; Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan lahan persepsinya. Kecemasan ringan dapat memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan dan kreatifitas. Manifestasi yang muncul pada tingkat ini adalah kelelahan, iritabel, lapang persepsi meningkat, kesadaran tinggi, mampu untuk belajar, motivasi meningkat dan tingkah laku sesuai situasi.
2. Kecemasan sedang; Memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada masalah yang penting dan mengesampingkan yang lain sehingga seseorang mengalami perhatian yang selektif, namun dapat melakukan sesuatu yang terarah. Manifestasi yang terjadi pada tingkat ini yaitu kelelahan meningkat, kecepatan denyut jantung dan pernapasan meningkat, ketegangan otot meningkat, bicara cepat dengan volume tinggi, lahan persepsi menyempit, mampu untuk belajar namun tidak optimal, kemampuan konsentrasi menurun, perhatian selektif dan terfokus pada rangsangan yang tidak menambah ansietas, mudah tersinggung, tidak sabar,mudah lupa, marah dan menangis.
3. Kecemasan berat; Sangat mengurangi lahan persepsi seseorang. Seseorang dengan kecemasan berat cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik, serta tidak dapat berpikir tentang hal lain. Orang tersebut memerlukan banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pada suatu area yang lain. Manifestasi yang muncul pada tingkat ini adalah mengeluh pusing, sakit kepala, nausea, tidak dapat tidur (insomnia), sering kencing, diare, palpitasi, lahan persepsi menyempit, tidak mau belajar secara efektif, berfokus pada dirinya sendiri dan keinginan untuk menghilangkan kecemasan tinggi, perasaan tidak berdaya, bingung, disorientasi.
4. Panik; Panik berhubungan dengan terperangah, ketakutan dan teror karena mengalami kehilangan kendali. Orang yang sedang panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan. Tanda dan gejala yang terjadi pada keadaan ini adalah susah bernapas, dilatasi pupil, palpitasi, pucat, diaphoresis, pembicaraan inkoheren, tidak dapat berespon terhadap perintah yang sederhana, berteriak, menjerit, mengalami halusinasi dan delusi.

Respon Fisiologis terhadap Kecemasan
• Kardio vaskuler; Peningkatan tekanan darah, palpitasi, jantung berdebar, denyut nadi meningkat, tekanan nadi menurun, syock dan lain-lain.
• Respirasi; napas cepat dan dangkal, rasa tertekan pada dada, rasa tercekik.
• Kulit: perasaan panas atau dingin pada kulit, muka pucat, berkeringat seluruh tubuh, rasa terbakar pada muka, telapak tangan berkeringat, gatal-gatal.
• Gastro intestinal; Anoreksia, rasa tidak nyaman pada perut, rasa terbakar di epigastrium, nausea, diare.
• Neuromuskuler; Reflek meningkat, reaksi kejutan, mata berkedip-kedip, insomnia, tremor, kejang, , wajah tegang, gerakan lambat.
Respon Psikologis terhadap Kecemasan
• Perilaku; Gelisah, tremor, gugup, bicara cepat dan tidak ada koordinasi, menarik diri, menghindar.
• Kognitif; Gangguan perhatian, konsentrasi hilang, mudah lupa, salah tafsir, bloking, bingung, lapangan persepsi menurun, kesadaran diri yang berlebihan, kawatir yang berlebihan, obyektifitas menurun, takut kecelakaan, takut mati dan lain-lain.
• Afektif; Tidak sabar, tegang, neurosis, tremor, gugup yang luar biasa, sangat gelisah dan lain-lain.

16. Hipnoterapi Menghilangkan Kecemasan

Kecemasan atau Anxiety Disorder adalah kebiasaan yang ditandai oleh sebuah perilaku kecemasan yang sering timbul dan menetap pada banyak aktifitas atau kejadian yang tidak dicemaskan orang lain pada umumnya.

Anxiety disorder merupakan suatu keadaan pikiran dan perasaan yang ditandai adanya rasa cemas yang berlebihan. Contoh seorang pelajar sering cemas seputar test, yang selalu cemas akan gagal meskipun dalam latihan dia mendapat nilai yang baik, seorang yang takut jatuh miskin meskipun bisnisnya lancar dan tabungannya banyak dan sebagainya.

Seseorang akan mengalami kesulitan untuk mengontrol rasa cemasnya. Situasi kehidupan yang penuh stress, berada di lingkungan stress, bisa menyumbang kecemasan. Gangguan ini bisa dimulai kapan saja dalam kehidupan, termasuk saat masih kecil. Banyak orang melaporkan bahwa mereka mengalaminya sudah lama sejauh yang dapat mereka ingat. kecemasan terjadi lebih sering pada wanita daripada pria.

Gejala Anxiety Disorder antara lain: Kegelisahan, Mudah merasa lelah, Sulit berkonsentrasi, Mudah marah, Ketegangan pada otot, gemetar, sakit kepala, Kesulitan tidur, Keringat yang berlebihan, dan sesak nafas.

Orang yang mengalami kecemasan bisa berkembang menjadi panic disorder, depresi, atau menjadi Obsessive Compulsive Disorder (OCD). Akan menjadi masalah yang lebih parah apabila seseorang penderita kecemasan mencoba mengatasinya dengan narkoba atau alkohol untuk menghilangkan kecemasan.

Kami menggunakan EFT, NLP dan juga hipnoterapi untuk menyembuhkan kecemasan. Tidak ada teknik terapi yang sempurna dan cocok untuk semua orang. Dengan menggabungkan kedua teknik yang modern ini, kesembuhan bisa dicapai dengan sangat cepat dan efektif untuk hampir semua pasien.


17. 9 langkah mengatasi kecemasan berpisah
Mengenalkan bayi anda kepada orang lain hanyalah satu dari banyak cara yang anda bisa lakukan untuk mengurangi rasa sakit dan stres cemas karena berpisah untuk diri anda dan bayi anda.Hal ini terjadi pada setiap bayi. Di antara usia 6-12 bulan, bayi anda manis dan ramah. Lalu kemudian, datanglah orang lain - seorang pengasuh atau sanak keluarga - dan bayi anda yang berbahagia menjadi lengket dengan anda dan takut, dan mulai sering menangis. Tinggalkan bayi anda sendiri dengan orang lain tersebut, dan tangisannya akan dengan cepat meningkat menjadi jeritan.
Kecemasan berpisah dari anda adalah sebuah pertanda bahwa bayi anda sedang bertumbuh, tiba-tiba menyadari bahwa ada dunia yang terdiri dari orang-orang yang tak dikenal selain orangtuanya. Meskipun rasa tertekan dan bersalah karena meninggalkannya mungkin adalah penyebabnya, kecemasan berpisah merupakan bagian yang mendasar bagi setiap pertumbuhan bayi yang normal. Bagaimana anda menangani hal ini dapat membuat transisi ini lebih mudah atau lebih sukar dalam hidup bayi anda.
Kecemasan berpisah: Memahami mengapa dan kapan
Kecemasan berpisah muncul pada para bayi saat mereka mulai mengembangkan indera yang lebih baik akan dunia ini. "Mereka mulai mengerti perbedaan diantara orang-orang." kata Richard Gallagher, PhD, assistant professor of child and adolescent psychiatry di New York University Medical Center. "Penting bagi para oang tua untuk mengakui bahwa ini biasa. Para orang tua dapat menyediakan beberapa indikasi bahwa ini akan baik-baik saja, menyediakan dukungan, dan kemudian membuat perpisahan ini sesingkat mungkin."
Kecemasan berpisah biasanya semakin berkurang pada akhir pertengahan tahun kedua bayi anda. Sampai saat itu, bisa jadi ada perasaan atau emosi yang naik turun pada orangtua, juga, dari rasa bersalah karena membuat bayi anda marah - walau sebentar - sampai kecemasan terhadap kelengketannya pada anda. Agar dapat meminimalis stres dari situasi seperti ini sambil menyakinkan anak anda bahwa anda mencintainya, berikut beberapa saran untuk meringankan jalan anda melalui bagian dari perkembangan anak anda ini.
Redakan kecemasan berpisah pada bayi anda - dan juga anda.
Jangan biarkan kecemasan berpisah menghentikan anda dari mengenalkan anak anda kepada orang lain. Dengan sedikit perencanaan dan cinta, bayi anda akan tersenyum pada teman-teman dan keluarga dalam waktu singkat. Ikuti petunjuk-petunjuk ini:
• Tenangkan diri anda sendiri. Memahami bahwa kecemasan berpisah ini normal. Ini bukan sesuatu yang disebabkan oleh anda atau anda melakukan hal yang salah.
• Biasakan perpisahan yang singkat. Bayi anda akan mengalami kecemasan berpisah di saat anda tidak terlihat olehnya, meskipun anda hanya berjalan ke dapur untuk secangkir teh. Jika ia merangkak ke ruang yang berbeda, tunggulah satu atau dua menit sebelum mendapatkannya kembali. Jika anda harus pergi ke area lain di rumah anda, beritahu bayi anda bahwa anda akan kembali. Jika ia menangis, panggil ia sambil pergi ke ruang yang lain daripada bergegas untuk mendapatkannya.
• Perkenalkan bayi anda dengan orang lain lebih awal. "Anak-anak harusnya dilibatkan dengan sejumlah orang-orang saat mereka tumbuh," kata Gallagher. Jika anak anda terlihat sedih saat digendong oleh orang lain, jangan bereaksi berlebihan dengan menyambarnya dan menjauhkannya dari orang lain.
• Bersiaplah untuk waktu tidur. Kecemasan berpisah biasanya terjadi saat waktu tidur, jadi anda harus ekstra lembut saat anda menyelimutinya dimalam hari. "Sangat membantu bagi para orang tua untuk menenangkan anak mereka dan membiarkan anak-anak mereka tahu, melalui kata-kata yang menenangkan, bahwa semuanya baik-baik saja, bahwa orang tua mereka masih mencintai mereka dan ada untuk mereka." kata Gallagher.
• Pergi setelah ia telah tidur dan diberi makan. Bayi-bayi mungkin memiliki waktu yang lebih sulit jika anda meninggalkan mereka saat mereka lelah, lapar atau sakit. Jika memungkinkan, cobalah untuk tidak meninggalkan anak anda disaat ia sedang tidak enak badan.
• Pengalihan. Minta pengasuh atau penjaga anak yang lain untuk menciptakan sebuah pengalihan saat anda pergi. Kemudian pergilah secepat mungkin.
• Perhatikan bagaimana anda bereaksi. Sulit untuk dilakukan, tetapi cobalah untuk tidak menanggapi reaksi bayi anda. Jika anda panik setiap kali anda sedang bersiap-siap untuk pergi, bayi anda akan panik juga.
• Sempatkan beberapa menit ekstra. Sebelum meninggalkan bayi anda di tempat penitipan anak atau dengan seorang pengasuh di rumah, luangkan sedikit waktu anda untuk bermain dengan anak anda. Kemudian yakinkan dia bahwa anda akan segera kembali.
• Tenangkan diri anda. Saat anda pergi, bayi anda akan mungkin berhenti menangis. Ia menangis untuk anda lihat dan akan segera berhenti setelah anda pergi. Jadi, dengan kondisi menangis untuk anda, sebaiknya anda cepat pergi dan bisa dipastikan anak anda akan segera tenang kembali setelah anda pergi.

18. mengatasi kecemasan anak cerdas karena perpisahan yang bersifat sementara
Setiap anak mengalami masa kecemasan. Mulai usia tujuh bulan sampai tahun – tahun prasekolah, mereka memperlihatkan kecemasan tinggi di saat terpisah dari orang tuanya.
Perasaan dibuang merupakan rasa takut yang biasa dialami Anak Cerdas yang masih kecil, bahkan bisa membuat mereka menderita sakit secara fisik.
Jika anda tahu bahwa Anak Cerdas anda merasa cemas dalam keadaan tertentu, anda perlu menyiapkan mereka jauh sebelumnya, misalnya :
•Kunjungilah dahulu sekolah itu jauh – jauh hari sebelumnya.
•Ajak Anak Cerdas anda bertemu dengan guru – guru di sana dan terbiasa dengan bangunan serta raung kelasnya.
•Yakinkan bahwa anda akan berada di tempat yang sama setiap hari untuk menjemputnya pulang ketika sekolah usai.
•Melaksanakan kebiasaan mengatakan selamat tinggal sebagaimana telah anda bahas bersamanya (pelukan dan ciuman) sebelum meninggalkannya.
Anak Cerdas anda akan belajar mempercayai anda akan kembali untuk menjemputnya.
Paling baik mulai memisahkan diri darinya sejak usia dini, ia akan terbiasa dengan keadaan dan orang baru. Namun apabila masa tersebut telah terlewatkan, anda dapat membiarkan Anak Cerdas anda melewatkan waktu cukup banyak untuk membiasakan diri dan merasa nyaman bersama orang baru, sementara anda masih berada di dekatnya. Hal ini akan sangat mengurangi ketakutan Anak Cerdas anda ketika ia benar – benar ditinggalkan seorang diri bersama orang baru.

19.Mengatasi Kecemasan pada Anak
KECEMASAN pada anak berhubungan dengan keterampilan sosial. Semakin tidak terampil, si buah hati akan merasa takut berada di lingkungan baru. Bagaimana mengatasinya?
Orangtua Budi, 6, sama sekali tidak menyangka jika hari pertama ke sekolah menjadi hari paling menakutkan bagi buah hatinya. Bagaimana tidak, Budi yang biasanya ceria, setiap pagi selalu bangun dengan tawa yang menghiasi wajah, sekarang malah menangis begitu memasuki halaman sekolah.
Budi seakan takut menginjakkan kaki di sekolah. Tangisnya semakin menjadi-jadi ketika menyaksikan anak-anak seusianya yang tidak dikenal. Budi semakin kencang bergelayutan di pangkuan ibunya, seakan tidak ingin ditinggalkan. Kondisi tersebut tentu saja membuat orangtua Budi sangat heran dan sama sekali tidak menyangka bahwa buah hatinya akan setakut itu berada di lingkungan baru.

Kejadian itu sebenarnya wajar dialami anak-anak. Sebab, masa awal anak-anak (early childhood) merupakan periode perkembangan yang terentang dari akhir masa bayi hingga usia kira-kira 5 atau 6 tahun.
Pada masa ini, anak mulai belajar untuk mandiri, mengembangkan berbagai keterampilan seperti pengenalan huruf, mematuhi perintah, dan menghabiskan waktu dengan bermain, terutama dengan teman sebayanya. Periode ini disebut juga tahun-tahun prasekolah, karena merupakan masa persiapan bagi anak untuk memasuki sekolah dasar.
Taman kanak-kanak merupakan tempat yang tepat bagi anakanak untuk mempersiapkan dirinya sebelum memasuki sekolah dasar.
Taman kanak-kanak merupakan salah satu media yang bisa menyediakan fasilitas yang dibutuhkan anak dalam mengembangkan fungsi intelektual dan potensi lain yang dimilikinya. Selain itu, anak akan mulai belajar untuk dapat menguasai lingkungan sosial yang lebih luas daripada lingkungan keluarga.
Pertama kali anak memasuki lingkungan baru di antaranya taman kanak-kanak, umumnya mereka mengalami ketakutan dan kekhawatiran. Manifestasi dari perasaan takut ini bisa menimbulkan macam-macam gejala gangguan, antara lain berupa, kejang atau sakit pada perut, sering buang air besar, sering kencing, sakit kepala, dan timbulnya tics (gerak-gerak facial pada wajah, misalnya berkedip, bergeleng-geleng, berkenyit atau anak jadi cepat marah. Ada kalanya anak juga jadi pemurung dan penakut.
Hasil survei awal yang dilakukan peneliti menunjukkan bahwa pada minggu-minggu pertama anak memasuki taman kanak-kanak, beberapa anak menangis karena harus berpisah dengan orangtuanya, anak tidak ingin ditinggal orangtuanya, anak menjadi pendiam dan pemalu, dan juga anak datang ke sekolah dengan wajah murung. Fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga di Amerika Serikat, di mana banyak ditemui anak-anak yang mengeluh dan menolak untuk pergi ke sekolah.
Penolakan tersebut ditunjukkan dengan munculnya keluhan anak seperti sakit perut setiap Senin pagi, anak terlihat enggan dan harus dipaksa berangkat ke sekolah, anak dengan sengaja melupakan sesuatu supaya terlambat pergi ke sekolah, anak sering berkata benci sekolah atau tidak ingin berangkat sekolah, dan ketika berada di sekolah selalu mengatakan ingin pulang.
“Ketakutan yang menghinggapi anak-anak ketika berada dalam lingkungan baru itu, menan- dakan bahwa sebenarnya anak belum siap dan kurangnya sosialisasi dari orangtua,” kata Psikolog Anak Alumni Universitas Indonesia (UI) Dr Farah Agustin.
Farah menambahkan, sosialisasi yang dapat dilakukan orangtua seharusnya adalah dengan sering bercerita kepada anak bahwa lingkungannya yang baru adalah sebuah tempat yang menyenangkan dan membuat anak jadi lebih pandai.
“Dibutuhkan kesabaran bagi orangtua, karena tidak semua anak bisa beradaptasi dengan cepat di lingkungan barunya,” terang dia.
Perilaku anak yang muncul terkait dengan penolakan untuk ke sekolah jika berlangsung dalam waktu yang panjang dan terjadi pada usia pertumbuhan, imbuh Farah, bukanlah suatu hal yang bisa dianggap ringan, tetapi mengarah pada masalah yang lebih serius. Salah satunya adalah perasaan cemas yang dialami saat akan masuk sekolah. Dan berdasarkan data penelitian tahun 2003 di Amerika Serikat, menunjukkan bahwa gangguan kecemasan adalah salah satu bentuk penyakit jiwa terbanyak yang dialami anak-anak dan 10 persen di antaranya membutuhkan perawatan medis.
Jadi, risiko anak-anak prasekolah di Amerika Serikat untuk terkena gangguan kecemasan bisa naik di atas 10 persen.
Kecemasan ini sendiri dapat berpengaruh negatif pada diri anak dalam jangka panjang, di antaranya hilangnya kepercayaan diri, sulit untuk bersosialisasi, perasaan tidak berdaya, anak terlihat menjadi pemurung, dan tidak jarang muncul perasaan khawatir.
Kecemasan masuk sekolah secara sederhana dapat diartikan sebagai bagian dari kecemasan umum akibat rasa takut berpisah dari ibu atau pengganti ibu, dan ketidakmampuan berdiri sendiri. Sedangkan menurut Kendall, Howard, dan Epps (dalam Goldstein, 1995), kecemasan yang dialami anak- anak dapat berpengaruh pada peran anak di rumah, di sekolah, ataupun dengan teman sebayanya.
Untuk mengatasi dan menghindari rasa cemas ini, anak-anak menggunakan berbagai macam teknik atau cara, di antaranya dengan memilih tetap tinggal di rumah daripada ke sekolah yang didasarkan pada alasan-alasan yang negatif. Kecemasan yang selalu melekat pada pikiran anakanak biasanya disebabkan adanya gangguan-gangguan yang datang dari sekolah. Anak mencoba untuk menghindari gangguan tersebut dengan menolak ke sekolah.
Meskipun demikian, penolakan untuk ke sekolah tetap merupakan perilaku yang negatif pada anak-anak. Sebab, salah satu penyebab anak-anak mengalami kecemasan masuk sekolah adalah adanya sesuatu yang mengganggu mereka, antara lain adanya permasalahan pada guru atau dengan teman, ketidakmampuan belajar, perubahan di rumah, tidak ingin ditinggalkan orangtua, perasaan malu, merasa gugup di sekolah, kelas atau situasi sekolah yang baru, tugas-tugas sekolah yang terlalu mudah dan membosankan, tugastugas sekolah yang terlalu sulit dan membuat frustrasi.
Hal ini sejalan dengan pendapat Hurlock (1993) yang mengatakan bahwa rasa cemas akan cenderung meningkat bila tiba saatnya ke sekolah dan beberapa yang disebabkan aspek situasi di sekolah. “Cara mengatasinya adalah orangtua harus mengetahui apa yang menjadi permasalahan anak-anak mereka. Kalau perlu, lakukan pendekatan kepada guru dan teman-temannya. Selain itu, bertanyalah tentang bagaimana tingkah laku anak ketika berada di sekolah,” tutur psikolog berkacamata tersebut.

20. Terapi Kognitif Atasi Depresi
Penulis : Ikarowina Tarigan
HAMPIR semua orang pernah berpikir buruk saat mood mereka jelek. Ditambah dengan depresi, maka pikiran-pikiran buruk tersebut bisa menjadi sangat negatif. Pikiran-pikiran ini bahkan bisa mengambil alih dan mengacaukan cara pandang Anda terhadap realita. Jika Anda merasakan hal ini, terapi kognitif bisa menjadi pilihan Anda. Terapi ini, berdasarkan studi ilmiah, terbukti efektif menghancurkan pikiran-pikiran negatif tersebut.

Dalam terapi, disediakan peralatan yang bisa digunakan untuk menantang pikiran negatif. Dalam jangka panjangnya, terapi kognitif untuk depresi ini, bisa mengubah cara pandang orang yang depresi dalam melihat kenyataan hidup.

Studi-studi telah menunjukkan, terapi kognitif bekerja paling tidak sama baiknya dengan obat anti depresi (antidepressant) dalam membantu penderita depresi ringan hingga sedang. Berikut merupakan cara kerja terapi ini:

Terapi kognitif untuk depresi: masalah berpikir

Terapi kognitif bukanlah terapi baru. Terapi ini sudah dikembangkan sejak tahun 1860-an, sebagai pengobatan alternatif untuk mengatasi depresi. Menurut Judith S. Beck, PhD, direktur Beck Institute for Cognitive Therapy and Research di Philadelphia, terapi ini berdasar pada satu prinsip bahwa pikiran-pikiran mempengaruhi mood.

Para terapis meyakini, depresi terjadi akibat pikiran negatif yang muncul secara konstan. Pikiran-pikiran ini muncul secara otomatis. Artinya, pikiran ini muncul tanpa didasari usaha yang dilakukan secara sadar. Sebagai contoh, seorang penderita depresi akan mempunyai pikiran otomatis seperti berikut:
• Saya gagal dalam setiap hal
• Saya yang paling buruk di dunia
• Saya dilahirkan untuk tidak bahagia

Pikiran-pikiran otomatis ini, terang Beck, mungkin mempunyai dasar kebenaran. Tapi, tegas dia, mereka yang depresi mengacaukan dan membesar-besarkan kenyataan dari suatu kondisi tertentu. Perilaku seperti ini akan memupuk depresi.

Dan dengan terapi kognitif, terang Beck, seseorang belajar bagaimana cara menyadari dan memperbaiki pikiran-pikiran negatif yang otomatis ini. Seiring waktu, penderita depresi akan bisa menemukan dan memperbaiki keyakinan-keyakin salah yang memicu depresi mereka.

"Ini bukan kekuatan berpikir positif," terang Beck."Ini adalah kekuatan dari berpikir secara realistis. Anda bisa mencoba, saat berpikir lebih realistis, Anda akan merasa jauh lebih baik," terang Beck, seperti dikutip situs webmd.

Terapi kognitif untuk depresi: cara kerjanya

Terapi kognitif meyakini kalau sebagian masalah terdiri atas beberapa bagian. Bagian tersebut meliputi:
• Masalah sebagaimana orang melihatnya
• Pikiran seseorang mengenai masalah tersebut
• Emosi seseorang yang mengelilingi masalah tersebut
• Perasaan fisik seseorang pada saat itu
• Tindakan seseorang sebelum, selama, dan setelah masalah muncul

Dalam terapi ini, pasien akan diajak untuk memecahkan masalah-masalah menjadi beberapa bagian seperti yang disebutkan di atas. Sekali pasien bisa memecahkan masalah menjadi bagian-bagian tersebut, maka masalah yang
kelihatannya begitu kuat tanpa pemecahan akan bisa ditangani.

Sepanjang mengikuti terapi, terapis akan mengajarkan dan mengenalkan kepada pasien alat-alat yang digunakan dalam terapi. Kemudian, diantara sesi, pasien akan diminta mengerjakan tugas tertentu. Tugas ini akan membantu pasien mempelajari cara menggunakan peralatan dalam memecahkan masalah tertentu dalam kehidupan.

"Pasien akan membuat perubahan kecil dalam hal pola pikir dan tingkah laku mereka setiap hari. Kemudian, seiring waktu, perubahan-perubahan kecil ini akan memicu perbaikan mood dan penampilan yang akan bertahan selamanya."

Seberapa efektifkah terapi kognitif? Dan, apakah lebih baik daripada pengobatan depresi lainnya? Menurut Robert DeRubeis, PhD, dari University of Pennsylvania, ada bukti yang kuat bahwa terapi kognitif merupakan pengobatan yang efektif untuk mengatasi depresi.

Berdasarkan hasil temuan berbagai studi, berikut merupakan beberapa fakta positif mengenai terapi kognitif:

1. Terapi kognitif sama baiknya dengan obat anti depresi (antidepressant) dalam mengatasi depresi ringan dan depresi sedang.

"Saat dilakukan dengan baik, terapi kognitif bekerja sama cepatnya dan sama baiknya dengan obat-obatan anti depresi," ujar DeRubeis. Jika dilakukan secara konsisten, lanjut dia lagi, dalam jangka waktu lama terapi kognitif bahkan bisa bekerja lebih baik dibandingkan dengan antidepressant.

2. Terapi kognitif bekerja sama baiknya dengan antidepressant dalam mencegah kekambuhan depresi.

Menurut DeRubeis, kalau pasien terus menggunakan keahlian yang dipelajarinya selama terapi, maka keahlian tersebut akan mencegah kambuhnya depresi. Kekambuhan atau kembalinya gejala-gejala merupakan masalah yang biasa terjadi dalam depresi."Terapi kognitif terbukti efektif mencegah kembalinya gejala-gejala, dan terapi ini bekerja tanpa menggunakan obat-obatan," terang dia.

3. Terapi kognitif mengurangi gejala-gejala sisa dari depresi.

Setelah berhasil menjalani pengobatan depresi, banyak orang yang terus mengalami gejala-gejala depresi ringan. Dengan menambahkan terapi kognitif, maka gejala-gejala sisa ini bisa dikurangi.

Bisakah terapi kognitif menggantikan obat-obatan? Menurut DeRubeis, pada beberapa orang terapi ini terbukti efektif tanpa obatan-obatan. Tetapi, lanjut dia, terapi ini dan obat-obatan tidak harus menjadi pilihan. Pada beberapa studi, lanjut dia lagi, terapi kognitif bekerja lebih baik saat dikombinasikan dengan obat-obat antidepressant.

Terapi kognitif untuk depresi: Berpikir baik, merasa baik

Depresi menunjukkan betapa eratnya hubungan antara tubuh dan pikiran. Mereka yang depresi biasanya merasa buruk secara fisik, tidak hanya sedih atau merasa terpuruk. Selain membantu meningkatkan mood seseorang, terapi kognitif juga bisa memperbaiki gejala-gejala depresi. Terapi ini bekerja dengan:
• Meningkatkan kadar energi seseorang secara umum
• Meningkatkan kualitas dan durasi tidur
• Meningkatkan selera makan dan mengembalikan kesukaan pada makanan
• Menguatkan dorongan seksual seseorang